parenting atau art parenting, sering kali kita merujuk pada teori-teori modern atau gaya pengasuhan terbaru. Namun, hari ini, Gereja Katolik mengajak kita untuk kembali merenungkan pelajaran dari Keluarga Kudus Nazareth -- Yesus, Maria, dan Yosep. Sebuah keluarga sederhana yang menyimpan kekayaan nilai spiritual dan etika yang relevan hingga zaman sekarang.
Ketika berbicara tentang seniDalam dunia modern yang serba cepat, banyak orang tua merasa terbebani oleh ekspektasi untuk selalu mengadopsi metode parenting terkini. Namun, nilai-nilai yang diajarkan oleh Keluarga Nazareth menawarkan pendekatan yang sederhana namun mendalam. Yesus, Maria, dan Yosep mengingatkan kita bahwa esensi dari parenting bukanlah tentang mengikuti tren, tetapi tentang membangun fondasi spiritual dan moral yang kokoh.
Melalui kehidupan sehari-hari mereka, Keluarga Kudus Nazareth menunjukkan bahwa pengasuhan yang penuh kasih, kesabaran, dan penerimaan dapat membentuk anak-anak menjadi individu yang mandiri dan berintegritas. Prinsip-prinsip ini, meskipun berakar dari konteks zaman dahulu, tetap relevan untuk diimplementasikan dalam keluarga modern. Kisah mereka adalah pengingat bahwa keluarga adalah tempat utama untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang abadi.
Momen di Bait Allah: Pembelajaran Tanpa Amarah
Kisah Yesus pada usia 12 tahun yang tertulis dalam Injil Lukas (Lukas 2:41-50) adalah salah satu narasi yang memperlihatkan dinamika unik dalam Keluarga Kudus. Yesus tetap tinggal di Bait Allah tanpa memberi tahu orang tuanya. Maria dan Yosep, setelah menyadari bahwa Yesus tidak ada bersama mereka, mencari-Nya dengan penuh kekhawatiran. Perjalanan itu memakan waktu satu hari penuh -- dengan usaha, kecemasan, dan ketidakpastian.
Ketika akhirnya mereka menemukan Yesus, reaksi mereka begitu berbeda dari yang mungkin kita bayangkan sebagai orang tua modern. Tidak ada marah-marah atau hukuman. Maria hanya berkata, "Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami?" (Lukas 2:48). Sementara itu, Yesus menjawab, "Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di rumah Bapa-Ku?" Respons Maria adalah memilih untuk "menyimpan semua perkara itu dalam hatinya" (Lukas 2:51).
Apa pelajaran utamanya bagi kita? Orang tua dapat belajar untuk mengelola emosi ketika menghadapi situasi yang mengejutkan atau tidak sesuai harapan. Reaksi Maria dan Yosep mengajarkan bahwa daripada marah atau menyalahkan, refleksi dan pemahaman jauh lebih efektif. Anak-anak, di sisi lain, diajak untuk memahami pentingnya menghormati orang tua, bukan hanya melalui kepatuhan tetapi juga dengan komunikasi yang baik.
Hindari Membandingkan Anak
Dalam konteks keluarga modern, salah satu tantangan terbesar adalah kecenderungan membandingkan anak-anak. Pernyataan seperti "Kakakmu tidak pernah rewel soal makan, kenapa kamu begitu?" dapat menciptakan luka emosional yang dalam. Dari kisah Yesus di Bait Allah, kita belajar bahwa setiap anak memiliki perjalanan dan panggilan unik. Bahkan dalam satu keluarga, seperti Yesus, Maria, dan Yosep, kepribadian dan tanggung jawab berbeda harus dihormati.
Membandingkan anak-anak sering kali dilakukan secara tidak sadar, namun dampaknya dapat sangat merugikan. Anak-anak yang sering dibandingkan mungkin merasa tidak dihargai atas keunikan mereka, sehingga sulit untuk mengembangkan rasa percaya diri. Hal ini bisa menciptakan jurang emosional antara orang tua dan anak, membuat anak merasa tidak cukup baik dalam pandangan orang tua mereka.
Psikolog anak, Dr. Carol Dweck, dalam penelitiannya tentang "Mindset", menyebutkan bahwa pola pikir orang tua dapat memengaruhi pola pikir anak. Ketika anak-anak dibandingkan secara negatif, mereka cenderung mengembangkan fixed mindset -- keyakinan bahwa mereka tidak mampu berubah atau tidak sebaik saudara-saudaranya. Sebaliknya, memberikan penghargaan pada usaha dan proses membantu anak mengembangkan growth mindset. Dengan growth mindset, anak-anak belajar untuk melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.