Nostalgia sering kali hadir sebagai teman yang manis, membawa kita kembali pada masa lalu yang terasa lebih sederhana, lebih bermakna, atau bahkan lebih bahagia. Namun, di sisi lain, nostalgia juga dapat menjadi jebakan yang membuat kita sulit menerima kenyataan masa kini atau menghadapi masa depan dengan optimisme. Ketika nostalgia mendominasi cara kita berpikir, kita mungkin terjebak dalam pola pikir lama yang tidak relevan, menghambat adaptasi, inovasi, dan pertumbuhan diri. Artikel ini akan mengupas bagaimana nostalgia bisa menjadi penghambat, tanda-tanda seseorang gagal move on, dan bagaimana mengatasinya dengan langkah-langkah praktis.
Nostalgia sering dianggap sebagai pelarian emosional dari kenyataan yang sulit. Menurut penelitian Sedikides et al. (2008), nostalgia dapat memberikan kenyamanan dan rasa identitas, tetapi jika berlebihan, hal ini justru membuat kita terpaku pada masa lalu. Misalnya, di tempat kerja, seorang karyawan yang terus membandingkan kebijakan perusahaan saat ini dengan "zaman emas" sebelumnya mungkin menjadi resisten terhadap perubahan, seperti penerapan teknologi baru atau pola kerja fleksibel.
Hal serupa juga terjadi di sekolah, di mana beberapa guru mungkin tetap setia menggunakan metode pengajaran tradisional karena merasa itu "lebih efektif," tanpa mempertimbangkan kebutuhan generasi siswa saat ini. Di pabrik, nostalgia terhadap sistem manual dapat membuat pekerja menolak otomatisasi, meskipun hal itu bertujuan meningkatkan efisiensi.
Ketika kita mabuk nostalgia, kita memandang dunia melalui "kacamata spion," seperti yang dijelaskan Marshall McLuhan, dan akhirnya kehilangan kemampuan untuk menilai hal baru secara objektif.
Mengenali Tanda Gagal Move On
1. Penolakan terhadap Inovasi
Penolakan terhadap inovasi adalah tanda paling jelas dari orang yang terjebak nostalgia. Orang-orang ini cenderung mempertahankan cara lama dan merasa bahwa hal baru hanya membawa komplikasi. Misalnya, di sebuah kantor, karyawan yang sudah lama bekerja mungkin menolak sistem berbasis cloud dengan alasan "data lebih aman secara manual." Padahal, sistem manual tidak seefisien cloud, terutama untuk kolaborasi lintas tim.
Dalam lingkungan pabrik, pekerja yang terbiasa dengan mesin manual sering kali memandang skeptis otomatisasi. Mereka khawatir akan kehilangan pekerjaan atau merasa teknologi baru terlalu rumit, padahal banyak studi menunjukkan bahwa otomatisasi justru meningkatkan produktivitas dan keselamatan kerja (Brynjolfsson & McAfee, 2014).
Penolakan terhadap inovasi juga terlihat di sekolah. Beberapa guru enggan memanfaatkan teknologi seperti platform pembelajaran daring. Mereka merasa metode tatap muka lebih "bermakna," meskipun generasi digital native lebih responsif terhadap pendekatan berbasis teknologi (Prensky, 2001). Ketika inovasi terus-menerus ditolak, organisasi atau individu kehilangan kesempatan untuk berkembang. Akibatnya, mereka tertinggal dalam persaingan global.
2. Romantisme Masa Lalu
Romantisme masa lalu membuat seseorang merasa bahwa semua hal di masa lampau lebih baik. Mereka sering kali berkata, "Zaman dulu lebih sederhana," atau "Dulu semuanya lebih menghargai nilai-nilai." Meskipun tidak sepenuhnya salah, pandangan ini sering kali mengabaikan tantangan dan kekurangan masa lalu.
Di kantor, romantisme masa lalu bisa membuat karyawan senior sulit menerima generasi muda yang membawa ide-ide segar. Mereka mungkin merasa bahwa generasi baru kurang disiplin atau tidak setangguh mereka, padahal studi menunjukkan bahwa generasi muda memiliki pendekatan kerja yang lebih kolaboratif dan inovatif (Twenge et al., 2010).
Di sekolah, guru yang terlalu romantisme metode pengajaran lama cenderung menganggap teknologi pendidikan sebagai gangguan, bukan alat bantu. Mereka mungkin merasa lebih nyaman dengan buku teks fisik dan papan tulis, tanpa memahami bahwa alat-alat baru seperti aplikasi interaktif dapat meningkatkan keterlibatan siswa.