Sakit hati sering kali dianggap sebagai bagian tak terhindarkan dari pengalaman emosional manusia, yang datang seiring dengan interaksi sosial kita. Ketika seseorang mengungkapkan kata-kata yang menyakitkan, mengabaikan kita, atau melakukan tindakan yang dianggap tidak adil, kita cenderung merasa terluka dan marah.Â
Dalam kondisi seperti ini, kita sering kali menyalahkan orang lain atas rasa sakit yang kita rasakan, dengan berpikir bahwa mereka yang bertanggung jawab atas emosi negatif kita. Namun, apakah benar bahwa sakit hati sepenuhnya disebabkan oleh tindakan orang lain? Ataukah, sebenarnya, sakit hati lebih berkaitan dengan cara kita memproses dan menafsirkan situasi tersebut dalam pikiran kita?
Pandangan ini sejalan dengan banyak teori psikologi modern yang menyatakan bahwa rasa sakit emosional lebih dipengaruhi oleh persepsi dan keyakinan internal kita, bukan semata-mata oleh tindakan eksternal orang lain. Misalnya, teori kognitif yang dikembangkan oleh Aaron Beck dan Albert Ellis menyoroti pentingnya cara kita berpikir tentang situasi tertentu dalam menentukan respons emosional kita.Â
Mereka berpendapat bahwa kita sering kali memberikan makna yang berlebihan atau salah terhadap peristiwa yang terjadi, yang kemudian memicu rasa sakit emosional yang dalam. Dengan kata lain, situasi itu sendiri tidak bisa dianggap sebagai penyebab langsung dari sakit hati, melainkan cara kita menafsirkan dan mengaitkannya dengan keyakinan internal kita yang menjadi pemicu utama.
Pentingnya pemahaman ini adalah bahwa kita sebenarnya memiliki kendali atas pikiran dan interpretasi kita. Ketika kita mampu mengubah cara kita memandang suatu peristiwa atau respons orang lain, kita dapat mengurangi dampak emosionalnya. Hal ini memberi kita kekuatan untuk mengelola sakit hati secara lebih efektif dan menemukan cara untuk tidak terjebak dalam perasaan negatif yang tak produktif. Dengan mengasah kemampuan untuk mengontrol pikiran kita, kita bisa lebih bijak dalam menghadapi berbagai situasi dan lebih cepat pulih dari rasa sakit emosional yang mungkin timbul.
Sakit Hati Berakar dari Diri Sendiri
Rasa sakit emosional sering kali dianggap sebagai sesuatu yang "dilakukan" oleh orang lain kepada kita, tetapi psikologi modern memberikan perspektif berbeda. Menurut Ellis (1994), emosi negatif seperti sakit hati bukan berasal dari tindakan orang lain, melainkan dari "keyakinan irasional" yang kita pegang tentang tindakan tersebut.Â
Misalnya, jika seseorang mengkritik pekerjaan kita, kita mungkin merasa sakit hati karena kita mempercayai bahwa kritik itu berarti kita tidak kompeten. Namun, dalam banyak kasus, kritik hanyalah umpan balik yang netral---emosi kita terhadapnya berasal dari interpretasi kita sendiri.
Psikolog modern seperti Bren Brown juga menekankan pentingnya "kerentanan emosional" dalam hubungan manusia. Brown berpendapat bahwa sakit hati sering muncul ketika kita membiarkan diri kita terlalu bergantung pada validasi eksternal, seperti pujian atau pengakuan dari orang lain.Â
Ketika validasi itu tidak diberikan, kita cenderung merasa terluka, padahal perasaan tersebut sebenarnya muncul dari kebutuhan internal kita sendiri, bukan dari apa yang orang lain lakukan atau tidak lakukan.
Selain itu, pandangan tentang "psikologi diri" yang diusulkan oleh Heinz Kohut menyatakan bahwa cara kita merespons tindakan orang lain sangat dipengaruhi oleh struktur diri kita sendiri. Jika seseorang memiliki harga diri yang kuat dan stabil, tindakan atau komentar yang tidak menyenangkan dari orang lain mungkin tidak akan terlalu berpengaruh. Sebaliknya, jika harga diri seseorang rapuh, tindakan kecil sekalipun dapat memicu reaksi emosional yang berlebihan.