Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Power Down Syndrome Bisa Terjadi di Usia Produktif?

6 November 2024   21:31 Diperbarui: 6 November 2024   22:00 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar pexels.com

Istilah power down syndrome, atau sindrom "kehilangan kuasa," sering dikaitkan dengan mereka yang sudah memasuki usia pensiun. Fenomena psikologis ini terjadi saat seseorang merasa berkurang dalam hal peran, otoritas, atau kepercayaan diri, terutama ketika posisi dan pengaruh mereka di organisasi mulai memudar. Namun, kenyataannya sindrom ini juga kerap dialami individu di usia produktif yang mengalami ketidaknyamanan terhadap perubahan atau saat merasa tersaingi. Bagi organisasi, fenomena ini bisa menjadi penghambat besar dalam inovasi dan pertumbuhan.

Sebagai contoh, orang tua kita sering mengajarkan pentingnya nilai-nilai dasar seperti sopan santun. Salah satu kenangan masa kecil adalah ketika ada tamu atau teman datang ke rumah, saya selalu diminta memberi tahu orang tua terlebih dahulu. Ini bukan hanya soal etika, melainkan nilai hormat yang lebih mendalam. Bapa saya pun sering mengingatkan, "Ketika engkau memimpin, jangan pimpin pakai rasa, tapi pakai akal dan budi. Dan ketika engkau tidak jadi pemimpin lagi, sadari bahwa saatnya lebih banyak mendengar dan mengikuti arahan." Pesan ini mengajarkan bahwa posisi atau jabatan hanyalah sementara, dan yang lebih penting adalah kebijaksanaan dalam merangkul perubahan serta kesadaran untuk mendukung pemimpin baru saat waktu kita telah usai.

Sindrom power down di usia produktif muncul saat individu mulai kehilangan otoritas atau merasa bahwa pengaruhnya berkurang akibat perubahan organisasi atau kehadiran individu baru yang menonjol. Kecemasan bahwa peran mereka tidak lagi relevan memunculkan reaksi negatif yang melibatkan pandangan pesimis terhadap perubahan, dukungan berlebihan pada kelompok tertentu, atau penolakan terhadap arahan baru. Menurut psikologi organisasi, perasaan ini adalah respons alamiah manusia terhadap ketidakpastian dan potensi hilangnya status sosial.

Seseorang yang terkena sindrom ini berupaya mempertahankan otoritasnya dengan berbagai cara, kadang-kadang dengan taktik yang kurang sehat bagi tim atau lingkungan kerja. Mereka lebih sering menekankan kepentingan pribadi dibanding kepentingan bersama, hingga berpotensi menghambat kemajuan dan memecah belah organisasi. Pola pikir yang cenderung defensif dan penuh kontrol ini bisa memperkeruh suasana, membuat kolaborasi sulit, dan menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.

Tanda-Tanda dan Dampak Power Down Syndrome dalam Organisasi

Secara praktis, ada beberapa tanda power down syndrome yang bisa kita amati:

  1. Pandangan Negatif terhadap Perubahan: Mereka yang terkena sindrom ini cenderung melihat setiap perubahan dalam organisasi sebagai ancaman, alih-alih peluang. Perubahan dipandang dengan sinisme, dan seringkali mereka cenderung mempertanyakan setiap inisiatif baru, bahkan jika perubahan tersebut membawa manfaat besar.

  2. Favoritisme atau Dukungan Berlebihan pada Kelompok Tertentu: Para pemimpin yang terjebak dalam sindrom ini cenderung mendukung "geng" atau kelompok tertentu untuk menjaga dominasi, meskipun kadang mereka mengabaikan aturan atau kepentingan tim secara keseluruhan. Favoritisme ini berujung pada iklim kerja yang tidak sehat dan memperkeruh semangat kerja.

  3. Kesulitan Menerima Arah Baru: Mereka yang terbiasa memegang kendali sulit untuk mengikuti arahan pemimpin baru. Ketidakmampuan menerima posisi ini sering kali ditunjukkan melalui sikap pasif-agresif atau kecenderungan mencari celah untuk melemahkan kebijakan baru, menciptakan suasana yang kurang produktif bagi tim.

Gejala-gejala ini tidak hanya menimbulkan dampak buruk bagi individu tersebut, tapi juga menciptakan ketidakseimbangan dalam organisasi. Ketika satu orang merasa perlu mempertahankan otoritas tanpa memberi ruang untuk inovasi atau perbedaan pendapat, dinamika tim berubah menjadi lebih kompetitif dan kurang kolaboratif, yang pada akhirnya menghambat kemajuan bersama.

Pendekatan Filosofis: Belajar Menjadi Pemimpin yang Melayani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun