Refleksi untuk Mama-Mama yang Menginginkan Anak Siap Sekolah
"Mommy, anakmu sudah bisa baca belum?" "Berhitung sudah lancar belum nih? sudah siap masuk SD belum?" Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering menghantui para orang tua, khususnya para ibu, yang ingin memastikan kesiapan anak-anak mereka sebelum masuk Sekolah Dasar.Â
Keresahan ini sering kali membuat orang tua mempertanyakan apakah si kecil harus menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sejak usia dini, atau justru lebih baik fokus pada perkembangan psikologis dan sosialnya.
Kekhawatiran ini dipicu oleh ekspektasi bahwa anak-anak akan lebih mudah beradaptasi di SD jika sudah menguasai calistung. Fenomena ini memunculkan berbagai pendapat dari ahli pendidikan, psikolog, maupun praktisi pendidikan anak usia dini (PAUD), yang mempertanyakan apakah fokus pada calistung sejak dini adalah pendekatan yang tepat atau malah mengabaikan esensi perkembangan anak.
Perspektif Filosofis: Dari Homo Ludens ke Montessori
Untuk memahami masalah ini secara mendalam, kita bisa merujuk pada perspektif klasik dari sejarawan dan filsuf budaya, Johan Huizinga. Dalam karyanya yang berjudul Homo Ludens, Huizinga memperkenalkan konsep "manusia yang bermain" (homo ludens), di mana bermain dianggap sebagai bagian integral dari eksistensi manusia.Â
Bermain bukan sekadar aktivitas mengisi waktu luang, melainkan metode alami dalam pembelajaran dan perkembangan kognitif. Bermain, menurut Huizinga, mencerminkan kebebasan, eksplorasi, dan kreativitas, yang sejatinya merupakan esensi perkembangan anak usia dini.
Dari sudut pandang Huizinga, mendorong anak-anak PAUD untuk lebih banyak bermain ketimbang memaksa mereka menguasai calistung adalah pendekatan yang lebih sesuai dengan kodrat alami mereka sebagai manusia yang bermain.Â
Melalui bermain, anak belajar berinteraksi, memecahkan masalah, dan mengenali diri mereka di lingkungan yang penuh kasih dan tanpa tekanan. Sebaliknya, ketika anak diarahkan pada latihan calistung sejak dini, mereka mungkin akan mengalami tekanan dan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional secara alami.
Pendekatan ini juga memiliki keselarasan dengan metode pendidikan Montessori, yang dikembangkan oleh Maria Montessori. Montessori percaya bahwa anak-anak belajar paling efektif ketika mereka diberikan kebebasan untuk menjelajahi dan bereksperimen di lingkungan yang telah disiapkan secara hati-hati.Â
Prinsip kebebasan dan kemandirian dalam Montessori memungkinkan anak untuk belajar dengan cara mereka sendiri, berfokus pada minat mereka, bukan pada tekanan akademik tertentu seperti calistung.
Dalam lingkungan Montessori, anak-anak dilatih untuk mengenali kemampuan mereka sendiri, mengatur kegiatan mereka, dan menyelesaikan tugas sesuai dengan minat dan tempo mereka.
 Filosofi ini mendukung argumen bahwa pembelajaran anak usia dini haruslah lebih menekankan pada proses perkembangan diri dan kebebasan bermain daripada tuntutan akademik.
Perspektif Nel Noddings: Pendidikan yang Berfokus pada Kepedulian
Dalam konteks pembelajaran anak usia dini, teori Nel Noddings tentang caring education atau pendidikan yang berfokus pada kepedulian juga memberikan pandangan yang relevan.Â
Noddings menekankan bahwa pendidikan harus bertujuan untuk menumbuhkan rasa kepedulian---baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar.Â
Di PAUD, prinsip ini sangat relevan karena pada usia dini, anak-anak belajar untuk mengembangkan empati, kerja sama, dan kemampuan mengelola emosi melalui interaksi yang penuh kasih dan dukungan.
Jika PAUD lebih difokuskan pada calistung, ada risiko bahwa aspek-aspek emosional dan sosial yang fundamental dalam perkembangan anak akan terabaikan.Â
Anak mungkin menguasai keterampilan dasar membaca atau berhitung, tetapi kurang memiliki empati dan keterampilan sosial yang esensial bagi kehidupan mereka di masa depan.Â
Menurut Noddings, pendidikan yang berfokus pada kepedulian akan menciptakan anak-anak yang lebih seimbang secara emosional dan memiliki keterhubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Dari sinilah terlihat adanya keselarasan antara gagasan Huizinga tentang homo ludens, Montessori, dan pendekatan Noddings terhadap pendidikan yang berfokus pada perkembangan keseluruhan anak, bukan hanya akademik.Â
Ketiganya menggarisbawahi pentingnya memberikan anak-anak kesempatan untuk mengeksplorasi, bermain, dan merasakan kepedulian dalam lingkungan belajar mereka.
Konsep Merdeka Belajar: Menemukan Esensi Pendidikan Anak Usia Dini
Masalah pembelajaran calistung di PAUD juga dapat dilihat melalui lensa Merdeka Belajar, inisiatif pendidikan di Indonesia yang bertujuan memberikan kebebasan lebih kepada sekolah dan guru dalam menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak didik.Â
Prinsip Merdeka Belajar ini bertujuan agar pendidikan di Indonesia tidak melulu berfokus pada pencapaian akademik atau standar kurikulum yang kaku, tetapi lebih pada pengembangan potensi anak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan mereka.
Bermain dalam konsep Merdeka Belajar dianggap sebagai bagian penting dari proses pendidikan anak usia dini. Ketika pembelajaran lebih berfokus pada eksplorasi dan pengembangan diri, anak akan merasa dihargai sebagai individu yang unik, bukan sekadar peserta didik yang harus mencapai standar akademik tertentu.Â
Hal ini sesuai dengan esensi dari pendidikan anak usia dini yang menekankan perkembangan holistik, mencakup aspek sosial, emosional, dan fisik, di samping aspek kognitif.
Implementasi Merdeka Belajar di PAUD bisa menjadi jawaban atas masalah calistung, dengan memprioritaskan kegiatan bermain yang terstruktur namun tetap memberikan kebebasan.Â
Melalui permainan yang mendidik, anak dapat mengembangkan keterampilan pra-akademik seperti pemecahan masalah, logika dasar, dan pengenalan angka dan huruf, tanpa merampas kesempatan mereka untuk menikmati masa kecil yang penuh keceriaan.
Refleksi untuk Pendidik dan Orang Tua
Pada akhirnya, pendekatan filosofis dari Huizinga, Montessori, dan Noddings semuanya menunjukkan bahwa pendidikan anak usia dini seharusnya lebih menekankan pada perkembangan psikologis, sosial, dan emosional anak ketimbang tuntutan akademik semata.Â
Pembelajaran calistung yang dipaksakan terlalu dini hanya akan membuat anak merasa terbebani, meredupkan semangat eksplorasi mereka, dan dapat berpotensi menimbulkan tekanan yang tidak perlu.
Melalui Merdeka Belajar, diharapkan pendidik dan orang tua lebih memahami bahwa pencapaian akademik bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan pendidikan anak usia dini.Â
Pembelajaran melalui bermain, kepedulian, dan kebebasan berekspresi seharusnya menjadi dasar yang kuat untuk membentuk generasi yang bahagia, empatik, dan mandiri.
Sebagai penutup, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: apakah tujuan utama pendidikan anak usia dini untuk mempersiapkan mereka sukses secara akademik di SD, atau untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, kepercayaan diri, dan kebahagiaan dalam proses belajar mereka?Â
Pertanyaan ini layak dijadikan refleksi bagi kita semua---khususnya para orang tua dan pendidik---agar kita tidak hanya mempersiapkan anak-anak untuk dunia sekolah, tetapi juga untuk kehidupan yang lebih luas dan bermakna.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H