Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Terjebak dalam Membangun Budaya Keluarga di Dunia Pendidikan

7 Mei 2024   07:00 Diperbarui: 7 Mei 2024   07:16 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar https://pixabay.com/

Dahulu bahkan sampai saat ini, istilah "keluarga" semakin populer untuk menggambarkan budaya kerja, termasuk di dunia pendidikan. Perusahaan dan institusi pendidikan sering mengklaim diri sebagai "keluarga" untuk menekankan rasa kepemilikan, kebersamaan, dan misi bersama di antara karyawan dan staf.

Namun, meskipun strategi branding ini mungkin terlihat menarik pada permukaan, alih-alih menjadi bangun sebuah ciri khas sekolah, karakter bahkan spiritualitas, membangun budaya "keluarga" di dunia pendidikan dapat memiliki efek negatif yang signifikan, terutama bagi para pendidik dan staf. Berikut beberapa alasannya:

1. Miskonsepsi Kesetiaan dan Pengorbanan

Ketika tempat kerja dijuluki sebagai "keluarga," hal ini dapat menciptakan ekspektasi kesetiaan yang tidak realistis dan pengorbanan pribadi yang mirip dengan hubungan keluarga. Pendidik dan staf mungkin merasa tertekan untuk melampaui batas peran pekerjaan mereka, seringkali dengan mengorbankan kesehatan mental dan kesejahteraan mereka sendiri.

Misalnya, guru mungkin merasa terpaksa untuk bekerja lembur tanpa bayaran tambahan, mengambil tanggung jawab tambahan di luar jam mengajar, atau mengorbankan waktu pribadi demi "keluarga sekolah" mereka. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan, stres, dan burnout.

2. Kaburnya Batasan Kehidupan Pribadi dan Profesional

Budaya "keluarga" dalam lingkungan pendidikan seringkali membawa semangat kebersamaan dan kekompakan. Namun, di sisi lain, budaya ini dapat menciptakan situasi yang rumit di mana batas antara kehidupan pribadi dan profesional menjadi kabur.

Di satu sisi, pendidik dan staf didorong untuk membuka diri dan berbagi masalah pribadi dengan rekan kerja atau atasan dalam semangat keterbukaan keluarga. Hal ini dapat membantu membangun rasa saling percaya dan dukungan di antara anggota komunitas pendidikan.

Namun, bagi mereka yang lebih memilih menjaga privasi mereka dalam konteks profesional, hal ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Pendidik mungkin merasa dipaksa untuk berbagi informasi pribadi yang tidak ingin mereka bagikan, atau mereka mungkin merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadi dengan rekan kerja yang tidak terlalu dekat.

Di sisi lain, terdapat risiko bahwa tekanan untuk membagikan informasi pribadi dapat merusak kepercayaan di antara staf dan memperkuat budaya keterlibatan yang berlebihan. Pendidik mungkin menemukan diri mereka dalam situasi di mana mereka merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadi dengan rekan kerja, terutama jika mereka tidak merasa memiliki hubungan yang dekat dengan mereka. Ini tidak hanya menciptakan hambatan dalam komunikasi dan kolaborasi antar staf, tetapi juga dapat mengganggu kerja sama tim dan kinerja organisasi secara keseluruhan.

Situasi lain yang mungkin muncul adalah staf merasa dipaksa untuk berbagi informasi yang tidak ingin mereka bagikan, karena mereka khawatir tentang dampaknya pada hubungan profesional dan persepsi mereka di tempat kerja. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana individu merasa terjebak antara kebutuhan untuk menjaga privasi mereka dan tekanan untuk memenuhi harapan budaya "keluarga".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun