Musamus, adalah karya arsitektur serangga yang mengagumkan. Ia telah menginspirasi masyarakat lokal di Merauke. Musamus sebagai filosofi hidup sehari-hari adalah etos kerja 'berkarya dalam senyap', tidak perlu banyak bicara tetapi hasilnya kelihatan dan besar. Sama seperti sifat rayap yang kriptobiotik.Â
Dalam bahasa suku bangsa Marind Anim (Orang Marind), salah satu suku bangsa di Papua yang daerah persebaran utamanya berada di pesisir Merauke, kata 'musamus' artinya adalah semut. Sedangkan sarang semut disebut 'bomisay'. Bomisay inilah yang sering dikenal publik sebagai Musamus.
Di daerah Merauke, musamus dapat dijumpai di banyak tempat, baik musamus asli atau musamus hasil rekaan manusia yang dibuat untuk hiasan eksterior gedung atau fasilitas umum seperti di bandara.
Dalam kerja lapangan ke Merauke, ada dua area dimana Musamus dapat saya temui dalam jumlah yang banyak dengan ukuran yang bervariasi.
Lokasi pertama di Taman Nasional Wasur dan lokasi ke-2 di Salor di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke. Musamus di Salor yang berada di Savana saat ini menjadi obyek wisata 'seribu musamus'.Â
Ekosistem savana di Salor selain untuk obyek wisata juga menjadi area pengembalaan sapi penduduk lokal karena kelimpahan rumput untuk makanan ternak jenis ruminansia.
Musamus adalah sarang dari koloni rayap tanah atau rayap subteran (Macrotermes sp). Menurut ahli serangga IPB (Institut Pertanian Bogor) Rudy C Tarumingkeng.Â
Rayap ini hidupnya di dalam tanah. Agar dapat mengakses makanan, mereka membuat terowongan berbahan dasar tanah lumpur menuju sarangnya. Makanan utama rayap adalah selulosa yang dikandung oleh kayu mati atau kayu hidup.