Apa pun motivasinya, sakral ataupun profan, tradisi ini berakar kuat dari agama Islam yakni untuk menyambut Lailatul qadar.
Tiga malam sebelum akhir Ramadhan---Idul Fitri, umat muslim di Gorontalo menyalakan lampu-lampu yang sebagian besar menggunakan minyak tanah dalam wadah botol kaca 'energy drink'. Tradisi lama ini disebut Tombilotohe.
Jumlah lampu yang dinyalakan diperkitakan 4-5 kali dari jumlah populasi penduduk Gorontalo. Jumlah penduduk Gorontalo sendiri sebesar 1,1 juta lebih pada tahun 2020 . Jadi, perkiraan kasarnya, ada sekitar 4-5 juta lampu dinyalakan secara kolosal dalam tiga malam berturut.
Bagi pedagang kaki lima seperti Ti Nunu (45 tahun) ini adalah momen yang terbuka setiap tahun untuk menjual lampu-lampu teplok yang berbahan bekas botol energy drink yang dipasangi sumbu kecil di dalamnya.
Lampu-lampu ini akan dinyalakan dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah dan kosumsi minyak tanah seketika melonjak. Untuk keseluruhan, konsumsi minyak tanah selama Tombilotohe (3 hari) mencapai ratusan ribu liter minyak tanah terpakai.
Jika puasa kita artikan secara sekuler sebagai diet yakni berpantang makan dan minum selama kurun waktu yang ditentukan oleh aturan agama. Hal ini juga menunjukkan bahwa konsumsi akan cenderung menurun selama Ramadhan karena orang-orang membatasi diri dan menunda banyak keinginannya. Â
Sehubungan dengan masa menjalani puasa, beberapa instansi bahkan menerapkan pelonggaran jam kerja dan atau pengurangan jam kerja--terutama jenis-jenis pekerjaan yang menguras tenaga.
Nopri (20 tahun) salah satu pegawai hononer Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pohuwato mendapat pengurangan kerja dari dari hari-hari biasanya. Selama bulan puasa, Ia hanya diminta untuk bekerja selama 4 jam sehari.
Pent-up Demand
Dari sisi konsumsi, Tombiotohe menjadi semacam lampu hijau untuk belanja besar untuk menyambut hari raya Idul Fitri. Kebutuhan uang meningkat dan jumlah pinjaman juga meningkat.
Menurut petugas pegadaian, jumlah emas yang digadaikan oleh masyarakat meningkat drastis jumlahnya menjelang Idul Fitri. Kebutuhan uang tunai sangat besar untuk keperluan Idul Fitri. Peningkatan konsumsi terlihat bukan hanya pada kue dan pakaian, namun juga pada cat dan bahan bangunan sehubungan dengan kebiasaan penduduk Gorontalo untuk mempercantik rumahnya dalam rangka menyambut Idul Fitri.
Pasar-pasar malam digelar yang menjual aneka macam kebutuhan masyarakat. Ini semacam fenomena pent-up demand dimana permintaan akan barang melonjak secara tiba-tiba. Ini adalah fenomena ekonomi yang dicirikan oleh keadaan sebelumnya mengalami periode konsumsi yang melemah.
Di pasar malam, aneka macam kebutuhan sekunder dan tersier diserbu masyarakat. Pedagang sandal dan sepatu kewalahan menerima permintaan. Hal ini juga terjadi pada jenis barang tersier. Bentor (becak motor) memadati jalan raya. Lalu lintas tiba-tiba menjadi padat merayap.Â
Seorang bapak terlihat membawa anggota keluarganya bonceng tiga. Tiga anak yang bersamanya terlihat memakai macam-macam mainan. Anak terkecil terlihat memakai kaca mata plastik dan bando berbulu. Dua anak laki-laki yang diboncengnya, terlihat membawa terompet serta aneka mainan memenuhi tangannya.
Selain peningkatan konsumsi yang tiba-tiba pada barang, permintaan jasa transportasi juga meningkat sehubungan dengan kebiasaan untuk mengunjungi kerabat baik dekat maupun jauh, menggunakan kendaraan pribadi bahkan rental mobil.
Fenomena pent-up demand mungkin fenomena umum di Indonesia selama merayakan Idul Fitri, namun Tombilotohe-malam dimana rumah, jalan raya, lapangan terbuka, serta Mesjid dipenuhi lampu teplok berbahan minyak tanah secara kolosal dan koreografis menjadi ciri masyarakat Gorontalo menyambut Idul Fitri.
Selamat Idul Fitri buat saudara umat Muslim. Mohon maaf lahir dan batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H