Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Teror Ulat Bulu dan Burung-burung yang Hilang dari Pekarangan Kita

15 Januari 2020   23:00 Diperbarui: 18 Januari 2020   02:39 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.superkicau.com

Sepekan terakhir, warga Tangerang Selatan diberitakan sedang diteror ulat bulu yang menyebabkan warga menderita gatal dan bentol-bentol. Hal yang sama diberitakan terjadi di Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur (Kompas.com-15/01/2020, 16:07 WIB).

Kemarin (14/01), berita yang sama mampir di halaman Facebook saya oleh seorang sahabat yang berada di Mamuju, Sulawesi Barat. Beliau menandai saya dalam berita yang dibagikan disertai dengan pertanyaan, "Fenomena apa ini Bang?"

Lokasi serangan ulat bulu yang diberitakan sebelumnya ternyata berbeda, yakni di Kompleks Perumahan Cipayung, Jakarta Timur (Kumparan-13 Januari 2020 16:04 WIB).

Sejauh ini penanganan yang dilakukan oleh warga yang dibantu oleh aparat pemerintah adalah mengumpulkan ulat bulu lalu dibakar dan atau seperti cara yang ditempuh oleh petugas pemadam kebakaran di Cipayung, menyemprot ulat bulu dengan foam (busa).

Terhadap pertanyaan teman di atas, hemat saya, semua spesies berpotensi untuk meledak. Alam ini memang bekerja dengan rumit, hilangnya salah satu unsur dalam rantai makanan akan berpengaruh pada aspek lain.

Contoh terbaik untuk ini barangkali "The Four Pests Campaign" atau "kampanye empat hama" yang dilakukan dalam rangka "Great Leap Forward" sekitar tahun 1958 oleh Mao Zedong, Pemimpin Republik Rakyat Tiongkok saat itu.

Burung gereja adalah salah satu dari empat yang dibantai hingga hampir punah. Hasilnya, bukan hasil panen tanaman pangan yang melimpah, justru kelaparan besar karena ulat dan serangga yang menjadi hama pertanian populasinya meledak, panen gagal.

Tragedi ini diingat dengan The Great Famine atau  'Wabah Kelaparan Besar' di mana terjadi kanibalisme (lebih jauh baca: mongabay.co.id).

Kembali ke topik di atas. Dalam kasus teror ulat bulu, kondisi berbiaknya mungkin ideal (musim penghujan), serta predator alami ulat bulu yakni burung-burung pemakan serangga--dalam rantai makanan alami, sudah jarang atau bahkan hilang dari lingkungan pemukiman warga perkotaan.

Senada dengan itu, menurut Ferry Hasudungan, senior biodiversity Perhimpunan Pelestarian Burung Liar di Indonesia yang berkantor pusat di Bogor mengatakan ada hubungan kuat antara hilangnya burung pemakan serangga dengan meningkatnya populasi ulat bulu dalam kasus teror ulat bulu di Jakarta dan Tangerang.

Disebutkan melalui komunikasi via WhatsApp, 15 Januari 2020, "Tentu ada kemungkinannya, ada beberapa jenis burung pemakan ulat, kupu-kupu, bahkan kepompong"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun