Setiap musim ujian tiba, pelajar akan disibukkan dengan belajar. Ada tradisi pelajar yang sudah berbudaya, yakni membuat contekan. Tentunya tidak semua pelajar melakukan tradisi ini, tetapi sayang jumlahnya sedikit. Pelajar yang ingin mendapatkan nilai tinggi di ujian nanti dengan cara mudahlah yang selalu melakukan tradisi ini. Karena sangat mudah dan hasilnya yang besar, orang terayu untuk melakukannya. Padahal tradisi membuat contekkan jelas-jelas tidak dibenarkan tetapi masih saja tetap digemari oleh kalangan pelajar.
Sementara negara melalui komisi pemberantasam korupsi (KPK) tengah gencar-gencarnya memberantas korupsi yang semakin mengorupsi di Indonesia. Tradisi membuat contekan ataupun menyontek malah semakin merajalela. Seolah telah menjadi hal yang lumrah di kalangan pelajar sehingga tidak ada rasa takut atau pun malu lagi. Sama halnya juga dengan korupsi yang sudah dilakukan secara berjamaah, tradisi membuat contekan juga sering dilakukan secara berjamaah. Perbedaanya kalau korupsi operasinya itu dilakukan secara rapi dan sangat susah untuk di bongkar. Sedangkan tradisi menyontek, walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetap saja bisa ditahu. Tetapi ironisnya, tradisi menyontek ini seolah dibiarkan. Walaupun itu sudah jelas ditahu dan dilihat oleh pengawas ruangan saat ujian. Alhasil, tradisi ini telah berubah menjadi berbudaya di kalangan pelajar.
Tradisi seperti ini ternyata tidak hanya di kalangan pelajar, mahasiswa pun tidak mau kalah. Kalau dikalangan pelajar tradisinya itu nyontek, dikalangan mahasiswa berbeda lagi. Lebih berbahaya dari nyontek. Dan operasinya pun lebih canggih dan sulit untuk dibedakkan. Istilahnya ”plagiat” atau ”Copy Paste” bahasa ITnya. Plagiat ini benar-benar merusak karakter anak bangsa. Bagaimana tidak, mencuri hak cipta orang lain dengan tidak ada perasaan takut dan malu. Plagiat ini sudah bisa disebut korupsi tingkat I. Pelakunya sesungguhnya adalah cikal bakal menjadi koruptor.
Tradisi plagiat sejatinya berawal dari ketidakmampuan untuk berkarya. Seiring dengan banyaknya tugas-tugas mahasiswa yang menuntut untuk menulis, plagiat ini pun semakin marak terjadi. Apalagi ditunjang dengan teknologi yang semakin canggih. Menjadikan plagiat susah untuk dibendung lagi. Dan akhirnya berujung pada berbudaya di tengah-mahasiswa.
Kendati demikian, mahasiswa tetap percaya diri meneriaki pejabat yang korup. Meminta untuk turun dari jabatannya karena diduga korupsi. Berorasi dan berteriak di tengah jalan. Dan bahkan seringkali berujung pada aksi anarkis. Sungguh kasihan mereka. Berani berkata “Tidak pada Korupsi” tetapi tidak berani berkata “Tidak pada Plagiat”.
Kita sudah semestinya khawatir dengan kondisi seperti ini. Apalah artinya KPK terus mengejar-ngejar para koruptor, sedang peranakkan korupsi yakni nyontek semakin merajalela. Bebas begitu saja dan tanpa ada sanksi apa pun. Kita pun begitu apatis menyikapi masalah ini. Kosentrasi kita terhadap kasus-kasus korupsi yang besar telah membuyarkan perhatian kita pada hal-hal kecil seperti tradisi nyontek yang menyerang pelajar. Padahal generasi penerus bangsa terletak dipundak para pelajar. Bagaimana jadinya Indonesia di tahun-tahun mendatang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H