By: Maqhia Nisima Ilma
Perempuan telah membuat kemajuan cukup cepat di bidang pendidikan, partisipasi kerja, dan keorganisasian. Indikator sosial dan ekonomi mereka semakin menunjukkan perbaikan luar biasa waktu demi waktu. Dengan meningkatnya perempuan maju melaksanakan kegiatan luar atau pekerjaan untuk menopang ekonomi keluarga nantinya akan mengarah pada peningkatan kekerasan pada perempuan, setidaknya dalam jangka pendek. Oleh karena itu, kita hendaknya dapat mewaspadai sesuatu hal yang kemungkinan akan terjadi.
Laki-laki yang seharusnya sebagai tonggak untuk mencari nafkah demi kebutuhan rumah tangga semakin tertinggal. Dan perempuan digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang menunggu dengan setia kepulangan suami dari tempat kerja akan lebih maju. Pria sering terjebak dalam imej sebagai pencari nafkah dan ongkos psikologis dari kegagalan memenuhi peran ini dapat luar biasa. Apa yang terjadi apabila peran laki-laki terus menerus di gantikan oleh kaum perempuan? Perempuan sebagai tenaga kerja disukai karena kesediaan mereka melakukan pekerjaan dengan gaji lebih rendah, adanya komitmen dan rasa tanggung jawab serta cocoknya pada sejumlah pekerjaan tertentu.
Gerakan kaum feminis dan munculnya sejumlah role model telah membantu memicu bangkitnya perempuan profesional kelas menengah dan kelas ke bawah, yang sukses berkarir dan pada waktu yang sama berhasil sebagai ibu rumah tangga. Kalangan perempuan sukses ini terkadang menyembunyikan rasa tertekan mereka dalam mengemban dua macam tanggung jawab. Tetapi apa yang akan terjadi saat pembalikan peran rumah tangga terjadi dan perempuan menjadi pencari nafkah? Pasti martabat laki-laki akan semakin jatuh di mata perempuan. Maka hendaknya kaum lak-laki janganlah merasa bangga apabila istrinya lebih sukses di bandingkan laki-laki. Tetapi justru kesuksesan perempuan harus di jadikan support kaum laki-laki.
Mengambil sisi positif berhasilnya perempuan dalam pekerjaan sangat bagus. Sebab kadar kemampuan manusia antara yang satu dan lain sangat berbeda, ini berlaku perempuan dan laki-laki. Tapi banyak pula laki-laki cenderung cemburu apabila istri lebih unggul dari pada suami. Begitu juga seorang istri hendaknya juga tahu akan tugas kewajiabannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri pendamping suami. Bila sepasang suami istri saling mensuport dan saling membantu yakin hubungan rumah tangga akan harmonis.
Dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan menempati lapangan kerja, maka sedikitnya akan muncul empat probabilitas tantangan imajiner sosial ke depan. Pertama, perempuan A akan menjalani beban ganda sebagai pencari nafkah dan juga pengatur rumah tangganya sedang suami tidak berperan apa-apa. Sang suami menolak menjadi bapak rumah tangga kendati sang istri bekerja keras setiap hari. Sehingga si bapak merasa keenakan karena merasa istri mau melaksanakan semua.
Kedua, perempuan B menikah usia muda. Istri menyadari bahwa pernikahan itu belum siap dalam ekonomi. Sementara itu, telah lahir seorang anak dan karena itu sang istri demi mempertahankan rumah tangganya tetap hidup. Dia mengambil langkah berani bekerja mencari nafkah untuk keluarga dan sekaligus meneruskan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Dari waktu ke waktu, sang istri pasti akan merasa kelelahan. Sehingga terjadi pertengkaran, dengan begini apakah mereka harus bercerai, padahal menikah atas dasar sama-sama cinta.
Ketiga, perempuan C dan suaminya menikah berdasarkan cinta. Keduanya profesional. Tetapi sang suami cemburu melihat istrinya yang lebih berbakat dan sukses. Suatu hari, suami stress dan mengusir istri, dengan anak kecil yang tidur di sampingnya. Tindakan ini dengan alasan istri tidak mau melaksanakan tugas sebagai istri tetapi justru keluar rumah. Atau bisa saja suami menuduh yang tidak-tidak. Sang istri pun menjadi single parent, bekerja dan memelihara anak. Haruskah dia berekonsiliasi dan kembali ke sang suami?
Keempat, perempuan D melakukan hubungan gelap dengan kolega kerjanya dan ketika suami mengetahuinya, maka dia pun menceraikannya. Sang istri meminta maaf dengan beralasan "di luar kesengajaan" dan memohon untuk rujuk. Haruskah suami rujuk kembali, kendati kelelakiannya tertantang dan menjadi rendah di mata dunia. Dan istri telah lalei dengan kepercayaan suami terhadapnya.
Kajian tentang maskulinitas, sebuah area riset paralel yang berkembang sebagai respons pada kajian perempuan, perlu dilakukan untuk mengeksplorasi isu-isu seputar keluarga di mana pasangan seperti yang tersebut di atas terperangkap. Suami dapat saja disalahkan sebagai pemukul istri, pelaku kekerasan rumah tangga dan terror. Tetapi, apa yang membuatnya demikian?
Dalam kasus pertama, akankah ibu rumah tangga yang tidak bekerja (dan terkadang tidak mendukung) didepak dari rumah? Di sini masyarakat akan dengan cepat mengatakan bahwa sang suami yang kejam telah meninggalkan istrinya. Pada kasus kedua, suami mengalami rasa minder karena dia tidak memiliki kapasitas intelektual dan kecakapan seperti istrinya untuk berkembang dan mulai menderita kecenderungan depresi. Dalam kasus ketiga, akankah sang istri yang memahami keadaan suaminya seperti itu karena dia tumbuh dalam kondisi keluarga yang disfungsional, mencoba pendekatan yang lebih halus? Apakah sang suami dalam contoh terakhir menyadari bahwa dia hanya korban dari pembalikan peran (reversal role) selama ini perempuan biasanya selalu dalam posisi dikhianati dan rela menerima kembali istrinya apabila sang istri hendak rujuk?
Sementara kita memfokuskan emansipasi untuk perempuan, kita juga perlu mengembangkan bentuk baru maskulinitas yang akan memungkinkan kaum lelaki beradaptasi terhadap realitas baru perempuan.Untuk itu, diperlukan usaha keras masyarakat yang dapat berlaku adil baik pada lelaki dan perempuan.