Pemberitaan tentang meninggalnya mbah Maridjan menjadi buah bibir di mana-mana. Komentar bertebaran menanggapi peristiwa tersebut. Pada umumnya bernada positif, seperti yang banyak diberitakan media massa. Namun, di antara berbagai komentar tersebut, ada satu komentar teman yang membuat saya terkejut dan terasa aneh kedengarannya di telinga saya. Teman tersebut mengatakan bahwa mbah Maridjan bunuh diri!
“Lha…info dari mana lagi nih,” kataku dalam hati. Saya bertanya padanya mengapa ia berkata seperti itu. Teman saya tersebut menjelaskan dan memberi alasan bahwa mbah Maridjan sebenarnya sudah diberi tahu tentang bahaya Merapi yang sewaktu-waktu akan meletus dan akan mengancam jiwanya, tapi dia tetap saja tidak mau mengungsi dan menyelamatkan diri. Bukankah itu namanya bunuh diri, katanya.
Saya tertegun sejenak dan berpikir. Teringat oleh saya akan sebuah cerita yang diuraikan oleh seorang pembicara pada sebuah seminar motivasi yang pernah saya ikuti. Pembicara itu menceritakan isinya yang kurang lebih seperti ini.
Suatu saat, si Fulan yang tinggal di sebuah desa mendapat kabar bahwa desanya terancam bencana banjir besar. Berita itu ia dapat lewat warga sekitar, aparat pemerintah dan media massa setempat. Fulan merasa sayang dan enggan untuk meninggalkan rumah dan desanya. Ia pun tidak yakin bahwa bencana itu akan datang. Ia percaya kepada Tuhan dan berdoa kepadanya agar bencana itu tidak datang.
Ternyata, bencana itu pun mulai datang. Hujan yang tadinya gerimis kecil mulai menjadi deras. Air mulai menggenangi tanah desanya. Para tetangganya berteriak dan mengajak si Fulan untuk mengungsi, mereka menawarkan si Fulan menaiki mobil yang mereka bawa. Namun, si Fulan tetap di rumahnya dan berdoa kepada Tuhan agar dia diselamatkan dari bencana. Ia berharap hujan akan mereda.
Bukannya mereda, hujan malah semakin deras. Akibatnya, air mulai naik dan banjir mulai sepinggang tingginya. Si Fulan, bergegas memindahkan barang-barangnya ke tempat yang lebih tinggi. Sebuah tim dengan perahu karet sekoci menghampiri dirinya dan mengajaknya mengungsi. Namun, si Fulan menolak ajakan itu seraya berdoa kepada Tuhan agar hujannya reda dan airnya akan surut.
Namun, hujan tak kunjung reda. Air semakin meninggi. Mau tak mau si Fulan akhirnya naik ke atas atap rumahnya. Sebuah helikopter datang dan mengajak Fulan untuk segera mengungsi karena desanya akan tenggelam. Namun, ia bersikeras tetap menolak ajakan itu. Ia berdoa kepada Tuhan agar ia diselamatkan dari bencana. Iatetap berharap hujan akan berhenti dan air akan surut. Singkat cerita, akhirnya si Fulan mati tenggelam karena banjir tersebut.
Di akhirat, si Fulan protes pada Tuhan. Ia mempertanyakan mengapa Tuhan tidak mau menolong dirinya. Tuhan menjawab bahwa Dia telah memberikan pertolongan. Si Fulan balik bertanya, “Dengan apa?” Tuhan menjawab, “Bukankah aku sudah mengirimkan orang beserta mobil, perahu karet, hingga helikopter untuk menolongmu?”
Cerita di atas mengingatkan saya bahwa apa yang kita pikirkan belum tentu sama dengan orang lain pikirkan. Orang lain bisa saja melihat perspektif yang berbeda. Mengenai apakah mbah Maridjan mati bunuh diri atau tidak, wallahu ‘alam bishshawab. Hal terpenting bagi kita yang masih hidup adalah apakah kita bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari kejadian tersebut? Mudah-mudahan ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H