Mohon tunggu...
Mappa Sikra
Mappa Sikra Mohon Tunggu... Jurnalis - One Life, live it

pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Perahu Sang Penakluk Badai

29 Februari 2020   09:53 Diperbarui: 29 Februari 2020   09:54 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelompok Manusia Perahu, sudah lama hidup di sepanjang pesisir pantai dan sekitar pulau. Awalnya saling memahami karena bahasa sehari-hari yang sama, dan menganggap bagian dari rumpun nelayan, warga tak pernah mempersoalkan.

Tak semua warga punya pandangan yang sama. Ketika Bu Susi Pujiastuti, menteri Kelautan dan Perikanan, ke Pulau Derawan dan berinteraksi dengan masyarakat, disitulah persoalan muncul. Warga nelayan jadinya curhat, bahwa mereka terganggu dengan adanya manusia perahu yang berkeliaran di sekitar pulau.

Keesokan harinya, Bu Susi memeritahkan, agar semua manusia perahu yang menghuni pesisir pantai dan pulau dikumpulkan. Di data, lalu dikembalikan ke negara asalnya. Dari laporan masyarakat, manusia perahu yang juga berbahasa Bajao, itu berasal dari pulau yang masuk wilayah Malaysia Timur dan Filipna.

Bukan itu saja, Masyarakat nelayan di Pulau Derawan dan Maratua, trauma dengan kasus perampokan. Para perampok yang disebut 'Mundu', pernah manjarah bahkan membunuh warga Maratua. Makanya, nelayan khawatir, diantara manusia perahu itu ada kelompok mereka.

Semua manusia perahu akhirnya dikumpulkan di Tanjung Batu, ibukota kecamata Pulau Derawan. Jumlah perahunya ratusan.  Manusianya sekitar 676 orang. Persoalanpun berubah, dari pelanggaran batas wilayah menjadi persoalan kemanusiaan. Pemda Berau membentuk tim khusus penanganan manusia perahu.

Jakartapun sibuk. Lembaga Hak-Hak Asasi Manusia juga sibuk. Pemkab lebih sibuk lagi, manusia perahu yang separuhnya anak-anak itu, harus diurus dengan baik. Mereka biasa hidup di laut.  Ketika di daratkan tinggal di tenda, jadi persoalan bagi mereka.

Mandi, tak biasa menggunakan air tawar.  Mereka harus mandi dengan air laut atau air hujan. Makannya begitu pula. Diberikan nasi dan lauk yang dikerjakan oleh-oleh ibu-ibu di kecamatan melalui dapur umum, tak disukai.  Maunya Singkong dan ikan asin.

Hampir 60 hari dalam penampungan. Selama itu pula, tim sibuknya luar biasa. Lokasi penampungan mirip kamp pengungsi. Pejabat dari Jakarta dan provinsi datang silih berganti. Termasuk, dari kedutaan besar negara Malaysia dan Filipina datang untuk melakukan pendataan.

Mereka memang hidup dan beranak pinak dilaut. Hidup dengan memancing, hasil pancingan dibarter dengan kebutuhan mereka. Sirkulasi kehidupan mereka seperti itu. Tim juga jadi heran, data kependudukan mereka di kedutaan Malaysia dan Filipina tidak tercatat. Akhirnya mereka hanya meregistrasi dan mengambil foto.

Bila mencermati kapal bermesin serta perahu kecil yang digunakan, mustahil bisa melewati laut lepas. Bagaimana menyeberangi laut dari kampung asalnya dan tiba di Berau. Tapi, nelayan Bajao paham, kalau Manausia perahu itu bisa menaklukkan badai dengan kelebihan yang dimiliki.

Dua bulan lumayan lama. Petugas kesehatan juga terus melakukan pemantauan. Tak bisa mereka terus menerus berada di lokasi penampungan. Harus segera dipulangkan.  Tidak ke kampung halamannya, hanya sampai ke batas perairan internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun