Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tuhan Adalah Tempat Terbaik Untuk Membebaskan Ketegangan

22 November 2011   07:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:21 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam itu interaktif. Bercandalah dengannya. Bahkan mengomelinya itu lebih bagus daripada bersikap formal kepadanya. Siapa tahu dengan begitu, cobaan hidup hanya akan terasa seperti … sedang  dikerjain” , kata seorang sobat muda*) yang biasa kudatangi ketika aku sedang bingung. Tapi anehnya, kali ini ocehannya malah lebih membingungkan ! “M.e.n.g.o.m.e.l.i  … Alam ?”, tanyaku terbata-bata. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang menyegarkan dalam kata-katanya. Jadi jelas pertanyaanku itu bukan dimaksudkan untuk mempertanyakan, namun hanya upaya untuk mendapatkan rincian … Tapi baiklah. Sepertinya layak dicoba. Kita mulai petualangan baru dengan bercanda dan mengomel, demikian tekadku …   Tidak boleh formal ya ? Hmm, memang formalitas itu hanya berlaku di kalangan mereka yang sengaja memelihara jarak. Mau menunjukkan protes kepada sosok superior seperti atasan atau …suami misalnya ? Tak perlu memboroskan tanda seru, cukup bersikap formal. Atau mau merenggangkan hubungan dengan seorang teman yang sedang 'merepotkan' ? Yak, dengan bersikap formal, pesan itu biasanya sampai … Nasihat sobatku itu lalu kubawa serta dalam perjalananku dari Malang menuju sebuah desa di Blitar. Nasihat itu kupraktekkan ketika kami menemukan pemandangan sawah dan matahari terbenam yang menakjubkan di sepanjang jalan.  Namun entah ke mana nasihat itu ketika kami sampai tujuan. Rasa nyaman membuat kami merasa begitu at home, bahkan mobil sewaan itupun sempat terasa bagai mobil pribadi. Delapan jam kemudian, kami baru tersadar bahwa sebuah ransel berisi dua buah laptop dan kamera saku masih tertinggal di mobil yang sudah pulang ke Malang tersebut. Astaga … Dalam keadaan tegang dan penuh penyesalan, tiba-tiba aku tergerak untuk mengembangkan sebuah improvisasi, dimana interaksi yang disarankan oleh sobatku itu bukan lagi kutujukan kepada Alam, tapi langsung kepada …Tuhan !  Dan inilah yang kumaksud dengan interaksi tersebut : “Tuhan, Kau menjengkelkan ! Bukankah tugasMu menjagaku, memberiku makan, menjamin masa depanku dan seterusnya ? Mengapa Kau tidak mengingatkanku ? “, ucapku meluncur begitu saja, tentu saja dalam hati. Namun jauh di dalam hati ini ada rasa malu yang tak berhasil kututupi, malah upaya menutupi itu berkembang menjadi rasa geli : Ya ampun, selama ini Dia melakukan semuanya untukku… Lalu apa bagian yang telah kuberikan untuk membayarNya ? (Yah, percuma menekan perasaan apapun di hadapan Tuhan. Bukankah Dia Maha Tahu ? Dia lebih tahu siapa diriku yang ada di balik semua kata-kata bodoh ini.) “Kembalikan dong, Tuhan. Kau kan tahu aku membutuhkannya …”, kataku. Sudah kepalang jadi anak manja, jadi mari kita lanjutkan saja. Lagi pula, bukankah kita diminta bermanja-manja pada Sosok yang paling layak digantungi semua harapan itu? Hanya ada waktu 30 menit untuk meminta bantuan pada sejumlah kawan di kota Malang yang bisa dihubungi di waktu sepagi itu, sebab sesudah itu semua henpon kami mati, karena semua charger ada di ransel yang tertinggal itu. Namun untungnya, kami hanya melalui  satu jam masa menunggu, itupun dalam suasana hati yang … tenang !  (Wow !) Kabar baik itu akhirnya datang. Ransel dan isinya dalam keadaan aman, meski diiringi catatan “nyaris ditemukan oleh orang yang tampaknya mencurigakan”. Lebih ajaib lagi, bukan hanya ransel beserta isinya yang kami temukan, melainkan juga seorang sahabat lama yang selama ini ‘menghilang’, dan kebetulan berada di waktu dan tempat yang tepat untuk menjadi penyelamat hari kami. Dia sendiri yang mengantar benda-benda berharga tersebut, dan kami bereuni dalam suasana hati yang tak tergambarkan.

*

Terkenang saat aku berdiri di hadapan Hajar Aswad.  Beberapa kali aku berkesempatan untuk menyentuhnya, tapi mataku malah terpaku pada seorang perempuan tua yang melambaikan tangannya pada Hajar Aswad tersebut diiringi dengan ratapannya yang menyayat. Tak kuasa dia bertahan dari gelombang antrian manusia yang selalu membuatnya terseret menjauhi batu hitam di Ka'bah tersebut. Namun entah mengapa, aku malah menarik perempuan tersebut untuk menggantikan posisi strategisku, hingga akulah yang terseret menjauhi area yang diperebutkan itu. Lebih bodoh lagi, godaan untuk menarik orang lain ini -yang kebetulan para nenek berwajah Eurasia itu- terjadi sebanyak ...dua kali.

Mendengar keputusan konyolku tadi, seorang sahabat yang berangkat umrah bersamaku itu lalu memarahiku. Ia memintaku kembali memperjuangkan sebuah kesempatan untuk mencium batu-aneh-dingin-lembab dan disentuh entah berapa ribu manusia dalam sehari. Dengan ragu aku mendekati kerumunan itu lagi, lalu memantapkan hati untuk menghadapi satu-dua pemandangan tak elok yang mengandung 'kekerasan' ... demi memperebutkan sesuatu yang tak kupahami. Namun ketika keengganan itu tak juga pergi, aku hanya bisa mengeluh : "Tuhan, aku tak tahu mengapa aku harus melakukannya. Tapi jika menurutMu itu baik bagiku ... yah ... Kau tentu tahulah maksudku !", bisikku dalam hati (Maksudnya : "Pliiis, mudahkan dong !").

Aku tak ingat bagaimana mulanya, karena tahu-tahu aku sudah terseret masuk dalam gelombang manusia itu lagi. Tubuhku terjepit sejumlah orang, hingga kaus kakiku lepas dan kakiku melayang di atas lantai. Tertawa gembira aku merasakan adegan melayang yang memabukkan itu, terkenang pengalaman serupa ketika mengantri tiket konser Ahmad Albar di masa lalu. Namun -tentu saja- ini lebih istimewa, karena aku bergerak melayang menjauhi Ka'bah sejenak, lalu terhempas dengan amat cepat, hingga tahu-tahu aku menemukan diriku ...tepat di hadapan Hajar Aswad itu lagi.

Tawaku langsung lenyap, mulutku tercekat, dan perasaanku membuncah tak terkatakan. Namun akhirnya ada juga yang memecah keheningan itu dengan sebuah ucapan jahil... Yak, siapa lagi kalau bukan si jahil yang ada dalam diriku. Namun kali ini ucapannya bernada malu-malu : "Iya deh iya. Aku ngerti Engkau Maha Mendengar. Tapi bukannya cara ini agak ... lebay ?"

Berikutnya ... kutemukan diriku sedang menempelkan pipi di batu aneh yang sebelumnya hanya kupegangi pinggirnya itu. Dan semua berakhir bahagia selama-lamanya ! [caption id="attachment_145069" align="aligncenter" width="346" caption="Dari jauh, Hajar Aswad ini juga sangat menginspirasi. Ada gerakan kerumunan yang seakan terhisap ke dalam, lalu terhempas lagi ke luar. Mirip gerakan kontraksi-ekspansi, atau systole-diastole pada jantung kita. "][/caption]

*

Kembali ke urusan ransel yang baru ditemukan itu. "Terima kasih, yaa", bisikku dalam hati, tentu saja kepada Tuhan. Jangan bayangkan aku bersujud. Aku hanya menyandarkan tubuhku pada jendela, menjatuhkan kepalaku ke bawah, hingga kakiku tergantung sedemikian rupa. Pendeknya, amat mirip dengan perilaku kanak-kanak yang sedang kikuk. Terbayang anak-anakku dan bahasa tubuh mereka yang amat kukenal, terutama ketika mereka sedang menunjukkan rasa hormat yang tak terucap. Seperti itulah aku saat itu. Ya, Dia memang memahami banyak bahasa. Dan aku gembira, karena pengalaman jahilku tadi membuatku mengenal sebuah bahasa ajaib yang ternyata cukup berhasil menyentuh hati seseorang yang sedang enggan pada semua hal tentang Tuhan, hanya karena ia merasa Tuhan itu tidak terlihat dan tidak interaktif. "Kalau sembahyang membosankanmu, dik, cobalah untuk curhat padaNya di dalam sholatmu ..." "Katakan apa saja yang kau rasakan padaNya, dik. Kau hanya perlu meyakinkan dirimu, bahwa Dia Mendengar, juga Sahabat yang baik ..."

*

[caption id="attachment_145071" align="aligncenter" width="240" caption="Sesungguhnya benci adalah rasa cinta yang sedang terluka"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun