Sesekali kita perlu merasakan sentakan kegembiraan-kegembiraan kecil, supaya kita bisa merayakannya ... minimal dengan tangan terkepal yang disertai sorakan "Yeeeee !" . Itulah momen dimana kendaraan kita berhenti ketika lampu traffic light sedang kuning, atau bahkan langsung hijau.  "Horee...perjalanan kita sekian menit lebih cepat !" .... Atau saat makan siang, dimana makanan terasa lebih lezat di lidah orang yang masih berkeringat.  ... Atau saat kita memasuki akhir pekan : "Thank God is Friday !" Akhirnya datang juga waktu suka-suka bersama teman kesayangan sepanjang 48 jam ke depan !
Sesuatu yang dilakukan pertama kali juga merupakan kegembiraan yang layak dirayakan. Karena itulah kita menyukai selamatan atas pernikahan, kemitraan baru, juga kelahiran bayi ... Bahkan yang tak tergolong baru -namun berpotensi untuk menciptakan kenangan indah- pasti juga kita rayakan. Itu pula sebabnya sesekali kita memperingati ulang tahun dan hangatnya persahabatan.
Namun juara pertamanya adalah sebuah perayaan atas tugas berat yang berhasil ditunaikan. Inilah kegembiraan yang paling berkesan, jauh berbeda dengan 'keberuntungan gratis tanpa susah-payah' macam lampu hijau, hari Jumat dan ulang tahun. Kegembiraan yang spesial ini sangat terkait dengan kerja keras kita sendiri. Bahkan cara kita merayakanpun -biasanya- berbeda. Jika dalam 'keberuntungan gratis' tadi kita cukup memanjakan diri dengan makanan enak, iringan musik dan kehadiran sahabat, maka dalam perayaan atas tugas yang tuntas itu kita ingin menambahkan sesuatu yang lebih. Kita ingin berbagi kisah indah tentang momen kemenangan tersebut dengan banyak orang. Kalau perlu mengemasnya sedemikian rupa hingga layak dijadikan api penyemangat dan teladan.
*
Pertanyaannya, termasuk dalam kategori manakah hari raya korban itu bagi kita ?
Mari kita mengenang masa kanak-kanak dulu, ketika hari raya korban menciptakan hiburan semacam 'lampu hijau' yang berupa ekstra sate dan gule di meja makan kita . Lalu saat remaja, ketika pelaksanaan korban di sekolah memungkinkan kita menimbang dan membungkus daging bersama sahabat, dan kita mengalami kegembiraan sekelas 'datangnya hari Jumat'. Kegembiraan itu bertambah lagi saat tiba waktunya bagi kita meningkatkan partisipasi menjadi penyumbang hewan korban untuk pertama kalinya. Demikian seterusnya, hingga suatu saat... kegembiraan yang menyentak -sebagaimana harusnya dalam sebuah hari raya- itu tahu-tahu berubah menjadi ...kewajiban rutin belaka.
Sayangnya, sampai di sini gerakan untuk meningkatkan kegembiraan ke tingkat berikutnya itu seringkali tersendat. Bahkan anjuran untuk mengenakan busana terbaik dan wangi-wangian itupun semakin meredup, seiring redupnya sebuah seruan untuk berbaur dan bermesra-mesra dengan sesama di baliknya. Kita bahkan bertanya-tanya, selain urusan pemerataan daging, apakah yang sesungguhnya KITA rayakan ?
*
"Eid was named Eid because it returns every year with renewed happiness", kata Ibn Arabi *).
Id dinamai Id karena ia datang setiap tahun dengan kebahagiaan yang diperbarui.
*