Sebutkan kata berharga, mudah dipertukarkan, dan amat terbatas dalam sebuah iklan. Boleh jadi orang-orang akan berbaris dalam antrian, dan panitia penyelenggaranya mungkin memerlukan petugas kesehatan untuk berjaga-jaga. Lalu tambahkan kata diskon, obral, atau gratis. Maka antrian tersebut akan panjang mengular, bahkan diwarnai aksi dorong-mendorong dan jerit-tangis. Inilah saatnya panitia memerlukan sejumlah dokter, klinik darurat, bahkan ... kantong mayat. Namun anehnya, ketika setiap orang memiliki sesuatu tanpa perlu mengantri, kebanyakan mereka tidak melihatnya sebagai sesuatu yang bernilai. Buktinya?  Lihatlah bagaimana selama ini kekayaan sangat mahal bernama  w.a.k.t.u  itu dihambur-hamburkan, disia-siakan, bahkan ... dibunuh! Padahal ... benarkah waktu yang kita sepelekan itu didapat tanpa susah-payah mengantri?
*
"Waktu itu gratis, padahal tak ternilai.
Ia tak bisa dikoleksi, tapi bisa digunakan.
Ia tak mungkin dimiliki, tapi boleh dibelanjakan.
Namun ketika ia berlalu, kita tak bisa mendapatkannya kembali",
demikian kata Harvey MacKay, seorang kolumnis.  Sebuah pandangan yang kuat, kecuali pada bagian ‘gratis’ tersebut.
Ya, kita memang menerima sebuah kemurahan yang tak terbilang, hingga istilah gratis pun -bisa jadi- mengandung kebenaran. Tapi sesungguhnya, proses perjuangan -yang jauh lebih berat dari sekedar mengantri- itu telah kita jalani sebelumnya. Kita pernah terlibat dalam sebuah kompetisi mematikan dengan ratusan juta benih saudara-saudara seayah, ‘hanya’ demi memenangkan sebutir sel telur ibunda. Dan kemenangan itu adalah demi sebuah kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan. Tepatnya: D.e.m.i W.a.k.t.u .
*
WAKTUMU HABIS !
*