Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

A Conversalitious with My Atheist Friend *)

5 Agustus 2011   04:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:04 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Atheists can be spiritual", kata teman baruku ini. Ia mengakui betapa aneh dan kontradiktifnya pernyataan tersebut bagi para religius, seaneh anjing yang mengeong atau kubus yang bundar, katanya. Yang ia tidak tahu, sebenarnya ada saja orang religius (mmm ... siapa ya ? ;-)) yang tidak merasakan pernyataan semacam itu sebagai keanehan. Sepuluh tahun lalu aku pernah tergila-gila pada pemikiran para atheist (yang kadang menyebut diri mereka humanis) dan agnostic, bahkan sengaja mengoleksi setumpuk artikel mereka dari internet. So, apakah spiritual? Bagi mereka, spiritual adalah sebuah perasaan universal yang menyatukan semua manusia, dimana berbagai keajaiban kecil dalam keseharian, diwarnai atmosfer 'zona yang tak diketahui' (baca: misterius, tak terukur), semua bercampur-aduk dalam kompleksitas dan keindahan yang agung... (ehm, sepertinya begitu juga makna spiritual bagiku, my friend ...;-). Einstein menamai kondisi batin semacam ini sebagai Cosmic Religion. Dan ternyata 'agama ala Einstein' ini diterima, baik oleh para atheist maupun para theist (religius). "The most beautiful experience we can have is the mysterious," demikian kata Einstein.

"Misteri adalah pengalaman emosi terdalam manusia yang paling penting; ia merupakan titik pertemuan antara seni sejati dan sains sejati. Barang siapa tidak mengalaminya, tak lagi terpesona, juga tak berhasrat untuk mencari tahu, mereka sama bagusnya dengan ... orang mati". "Pengalaman dengan misteri -yang sesekali bercampur dengan rasa takut- itulah yang melahirkan dan menghidupkan agama. Karena seringkali pengetahuan itu tak dapat ditembus. Tapi melalui keindahan terdalam, kita dapat menyentuhnya. Keindahan terdalam itu hanya tersedia dalam bentuknya yang paling primitif, yaitu pengalaman dengan misteri", kata Einstein lagi ... Berdasarkan pemahamannya yang amat menarik tentang pengalaman dengan misteri (yang amat kusetujui ;-) itulah Einstein -juga para atheist- mengaku diri mereka sebagai ... religius. Atau setidaknya spiritualis. Mereka mengagumi berbagai jalinan mikroskopik yang membuat tanaman bertumbuh, mengeraskan sisa-sisa tubuh hewan laut menjadi bukit kapur, menyatukan uap air menjadi awan, juga membuat kita bergelimpangan gara-gara mikroba yang 'nakal'. Mereka terpesona pada bigbang yang telah memuntahkan samudera partikel, dimana material subatomik itu lalu membentuk milyaran galaksi, hingga terwujudlah 'sebutir pasir' yang kita sebut rumah (baca: Bumi). Mereka masih menghela nafas mengenang bagaimana kehidupan Bumi dimulai oleh cyanobacteriapurba yang bertransformasi menjadi mahluk multiseluler yang makin kompleks, hingga terbentuklah arthropod, ikan, tumbuhan, dan mamalia. Mereka juga ternganga mengingat betapa manusia telah bertumbuh menjadi spesies yang mampu berjuang menangani penyakit, kelaparan, gempa, pergi ke Bulan, juga mengirimkan pesawat ke planet-planet lainnya.

So, setuju sekali, my atheist friend. Semua ini memang very breathtaking, dan aku juga merasakan spiritualitas yang kau gambarkan ketika kubiarkan diriku tenggelam dalam keterpesonaan ini  ... Jelas kita semua sama, dan persamaan ini merupakan sebuah permulaan yang baik (sebagaimana kau bilang). Lalu bagaimana kita bisa berbeda ? Well, kau bilang bahwa perbedaan antara theis dan atheis hanya terletak pada penafsiran belaka. Atheis menolak kehadiran Tuhan dalam realita (yang sama-sama membuat kita ternganga itu), lebih-lebih gagasan tentang Tuhan yang mengiming-imingi hadiah dan mengancam dengan hukuman itu tidak masuk akal bagi mereka. Mereka cukup puas dengan misteri tentang keabadian, juga dengan kesadaran akan jalinan kehidupan cerdas yang mampu menata diri sedemikian rupa. "Bukan roh jahat yang membuat kita sakit, tapi mikroba. Bukan Poseidon yang memulai gempa, tapi gerakan lempeng tanah. Bukan sihir yang membuat kita saling terhubung, tapi ... internet ;-)", begitu pembelaanmu (yang terjemahannya sengaja kupilin sedikit. Biar pembacaku gak terlalu serius menanggapinya ;-)). Well, tidakkah pemahamanmu tentang semua ini cenderung berbasis memori, kawan ? Jangankan engkau, para theist yang memory based pun banyak yang terjebak dalam penjara yang sama. Engkau marah pada gereja (riwayatmu duluuu) yang mengingkari sains dan membakar Galileo. Tapi kau sudah lihat akhirnya bukan? Tak ada yang bisa membendung tumbuhnya ilmu pengetahuan. Engkau benci pada keyakinan akan roh jahat, sihir dan Poseidon. Tapi lihatlah di mana mereka yang masih jadul oriented ini berdiri ? Di tempat kumuh dan gelap, bahkan di alam ... kubur. Engkau juga muak pada Tuhan yang berorientasi reward dan punishment, padahal gambaran Tuhan semacam ini hanyalah interpretasi subjektif yang kita pilih sendiri. Yah, kita bisa saja terjebak dalam perdebatan tentang Tuhan yang ingin kita percayai. Tapi ketahuilah kawan, Tuhan yang dibicarakan dan diperdebatkan itu hanya ada di wilayah interpretasi. Remember what they say about "the map is not a territory", my friend ? Bahkan dengan sesama Muslim dalam satu perguruan, peta dan interpretasi kami tak akan benar-benar sama. Dan memang seharusnya demikian. Setiap peta perjalanan haruslah personal, karena ia dibangun oleh pengalaman dengan emosi terdalam kita masing-masing (sebagaimana kau yakini sebagai pengalaman dengan misteri).

Ketika sesama pengembara -dengan petanya masing-masing itu- akhirnya bertemu di Teritori yang sama, tak ada lagi Tuhan yang perlu diperdebatkan, apalagi dipertentangkan. Karena perdebatan itu selalu mengenai peta ... atau interpretasi. Padahal di tempat tujuan yang bernama Teritori itu, di antara sesama pengembara itu hanya akan terjadi satu urusan 'bodoh' ;-), yaitu ... saling membenarkan. Mereka mungkin akan saling mempelajari macam-macam peta yang telah membuat mereka saling dipertemukan, hingga terjadi satu hal 'bodoh' yang lain lagi, yaitu : Wooow ! (dan mulut mereka menganga lagi dan lagi) ;-)

Sejujurnya, mengapa aku menyukaimu, karena aku melihat ada diriku dalam dirimu, kawan. Engkau sendiri menyetujui bahwa existence doesn't pick a side. Kalau saja engkau tahu, bahwa para theist pun sesungguhnya diharuskan belajar untuk tidak memihak, lebih-lebih jika mereka meyakini bahwa Tuhan itu 'tidak di Timur maupun di Barat'. Yah, engkau belajar begitu banyak, kawan, bahkan kepalamu dipenuhi berbagai pertanyaan mendasar yang bodoh (sebagaimana diriku selama ini, hingga aku seringkali dianggap aneh oleh sesama theist di negeriku sendiri ;-)). Jadi tampaknya aku tidak akan keberatan untuk bergabung dalam Cosmic Religion ala Einsteinmu itu. Karena aku setuju, bahwa tidak terpesona dan tidak mencari tahu hanyalah perilaku para ... carcasses (ups! jadi ingat 'wong mati ora obah' dalam sluku-sluku bathok ;-)). Aku juga suka petamu, kawan. Bahkan sudah lama gambaran yang kau kisahkan itu ada dalam peta pribadiku. Engkau bilang, spiritual adalah tentang mengakui bahwa kita tidak selalu tahu. (Bagi orang yang tidak tahu dimana enaknya ternganga, pasti tidak tahu apa maksudnya kalimat konyol ini...;-)). Tapi hari ini aku tersenyum melihat sebuah hal baru: Bahwa sebanyak apapun fakta yang kau masukkan dalam petamu, semua hanya semakin meyakinkanmu bahwa Tuhan tidak mungkin ada, termasuk berbagai paket religius lainnya yang meliputi angel, afterlife dan sebagainya. Tidakkah aneh jika fakta dan bukti yang sama banyaknya justru membuat orang lain memiliki keyakinan yang berlawanan denganmu, yaitu ... semakin yakin bahwa Tuhan itu sangat ada, sangat mengintervensi, bahkan hadir di mana-mana ? Jadi apakah sebenarnya yang membuat kita berbeda, kawan ? .......

Yang kutahu, Tuhan adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan zona yang kita tidak tahu. Zona itu begitu luasnya, bahkan yang disebut bukti tentang zona itu hanya mungkin dicapai melalui penyatuan antara diri kecil kita dengan zona yang tak terhingga itu. Tentu saja engkau bisa menyatukan diri kecilmu dengan zona itu, tapi itupun hanya terjadi jika engkau meyakininya. Jelas tak cukup hanya dengan percaya, karena percaya itu selalu menuntut bukti (yang datang kepada kita). Yang kutahu -lagi- adalah bahwa : Bukti itu tak cukup hanya dipetakan dan diinginkan. Ia harus didatangi dengan melibatkan diri utuh, sebagaimana kau gambarkan sebagai pengalaman emosi terdalam.

Jadi my atheist friend, bagaimana kalau berikutnya kita akan berbagi pengalaman terdalam tentang proses penjelajahan bukti dan Teritori tersebut ? Aku sudah terpesona melihat petamu, berikutnya aku ingin ternganga mengagumi kisah perjalanan batinmu dalam memvalidasi kebenaran petamu ...;-) Salam Cosmic Religion ! ;-) [caption id="" align="aligncenter" width="528" caption="There Is GOD ?"][/caption] *) Judul Asli: Buatlah Aku Ternganga Kawan ! Inspired by Ryan Benson, a kindhearted atheist person. First published : 8 Maret 2011 **) Conversalitious : Conversation yang delicious ...;-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun