Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Isra', Undangan dari 'Tempat Terjauh' Itu

28 Juni 2011   14:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa hari sebelum malam yang bersejarah itu sudah terasa bedanya bagi Ahmad. Setiap kali matanya terpejam, ia 'melihat' dunia dalam dirinya menghambur, bersatu dalam suka cita dengan dunia di luar dirinya. Kekuatan yang amat besar menghanyutkannya sedemikian rupa, hingga ia merasakan kesadarannya terhampar di sebuah zona tanpa kata-kata.

Bahkan setelah matanya terbuka, batas-batas yang memisahkan di sini dan di sana, Timur dan Barat, hari kemarin dan hari esok, alam duniawi dan alam 'masa depan',semua itu seakan melebur dalam geliat elastis mirip adonan gulali.Juga ketika seluruh pikirannya lumpuh dan berbagai pemahaman yang selama ini  d.i.k.u.m.p.u.l.k.a.n.n.y.a  menguap, ia masih merasakan ada yang tetap teguh dalam dirinya, yaitu Keyakinan.

Entah mengapa Keyakinan itu -secara aneh- tertumpah sedemikian rupa pada sesuatu yang tak dia ketahui, apalagi dia pahami.

Ahmad yang saya kisahkan ini memang bukan Muhammad s.a.w. yang hidup empat belas abad lalu, meski ajaran Muhammad yang satu itu masih hidup sampai sekarang. Ahmad kita ini memang tidak diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sebagaimana pengalaman Muhammad. Namun "Masjidil Haram" itu telah lama ada di hatinya, hingga suatu hari gagasan perjalanan malam Isra' itu menampakkan diri kepadanya. "Wahai Ahmad, Masjidil Haram adalah warisan Ibrahim, seorang Nabi yang di usia belianya mencari Tuhan, di masa dewasanya gigih menjaga tatanan yang diciptakan Tuhan, dan di masa tuanya melakukan pengorbanan amat besar - juga untuk Tuhan. Sedangkan Masjidil Aqsha adalah jejak-jejak sejarah yang melahirkan seorang Abram (nama kecil Ibrahim), dimana namanya berarti "a father of the many", seorang bapak dan panutan bagi banyak bangsa, dan seorang tokoh yang mempersatukan berbagai agama. Dia bukanlah anggota golongan ini maupun itu *), karena baik Timur maupun Barat adalah kepunyaanNya."

"Tapi Masjidil Aqsha baru ada lima puluh tiga tahun setelah peristiwa Isra' Mi'raj, sekian tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad s.a.w. Bahkan tempat itu bukanlah tempat ibadah saat itu, setidaknya bukan tempat ibadah yang sesuai dengan ajaran Muhammad s.a.w., meski Muhammad s.a.w. mengaku telah bersujud di dalamnya. Tidakkah itu merupakan sebuah kebohongan besar yang dilakukan oleh seorang Nabi besar ?", demikian sebagian keraguan itu dilancarkan untuk meminta perhatian Ahmad.

Namun Ahmad telah lama menanamkan spirit yang diwariskan Ibrahim itu di dalam dadanya. Ia tahu, ziarah spiritual itu jauh melampaui perjalanan fisik dan pengembaraan pikiran. Ketika semua ajaran agama dan kearifan sepakat tentang pentingnya mengingat Tuhan dan memburu kenangan tentang asal-usul kita, apakah mungkin kenangan sebesar itu ada dalam pikiran kecil kita ?Lihatlah, betapa penuh sesaknya pikiran ini oleh tetek-bengek keseharian dan berbagai pemahaman duniawi yang kita  k.u.m.p.u.l.k.a.n ; hampir tak ada kenangan tentang Tuhan dan asal-usul primordial di dalamnya.

Jadi pertanyaannya, jika mengingat itu bukanlah mengaduk-aduk logika dan menjalin-jalin peta pikiran, mengapa juga aktivitas spiritual ini disepakati dalam istilah ...mengingat ? **)

"Karena perjalanan manusia yang hampir mendekati puncaknya itu bukan lagi tentang dirinya sendiri, melainkan tentang dunia yang lebih besar dari dirinya. Engkau dirancang sebagai mikrokosmos, sebuah proyeksi mikro dari Kosmos berskala makro. Tentang itulah kenangan primordial yang harus diingat itu. Jelas engkau tidak mungkin mengandalkan pikiran kecilmu untuk menemukan jawaban sebesar itu." "Artinya, mengingat adalah aktivitas menyatukan memori individualmu dengan sebuah memori universal. Itu sebabnya engkau memerlukan jejak Ibrahim, karena Ibrahim adalah penghubungmu dengan memori universal tersebut. Ini juga menjawab mengapa Masjidil Aqsha bermakna 'Masjid Terjauh', karena sosok Ibrahim yang ada di baliknya adalah duta pertama yang bertugas untuk manusia seluruh (bukan satu-dua golongan), dimana pesan penting yang dibawanya itu berasal dari Asal-Usul Terjauh, serta berhubungan dengan berbagai hal tentang Tujuan Terjauh. Maka, ketika atribut Terjauh itu berlaku, baik untuk Asal-usul maupun Tujuan, kita lalu menemukan bahwa segala hal itu berawal dan berakhir pada Yang Satu. "

Jadi, ketika seorang Ibrahim telah kita sepakati sebagai bapak kita bersama, mengapa kita mengingkari gagasan tentang kesatuan umat manusia yang bertebaran dalam seluruh jejaknya ? Ketika sebuah masjid diartikan sebagai tempat bersujud kepada Tuhan, tempat menundukkan kepala serendah-rendahnya hingga menyentuh tanah, bagaimana mungkin kita menegakkan kepala tinggi-tinggi sambil mengaku-aku bertindak atas namaNya? Ketika Tujuan Terjauh dari semua sepak-terjang kita adalah Yang Satu, apakah artinya kotak-kotak pemecah yang membedakan Timur dan Barat, kulit hitam dan kulit putih, serta 'kita' dan 'mereka' ?

Ahmad menundukkan kepalanya dalam-dalam. Semua kata-kata penuh makna itu tiba-tiba bergema dalam kepalanya, justru setelah ia menonaktifkan pikirannya. Malam semakin larut. Namun Ahmad tahu, ada sebuah samudera nan maha luas yang selalu mempersiapkan dirinya untuk menyambut setetes air yang hampir mencapai stasiun akhir pengembaraan panjangnya.

"Sejauh mana engkau membayangkan masa depanmu, Ahmad? Sejauh mana engkau menghendaki pertemuan dengan Kami, dengan diri sejatimu ?", demikian keheningan malam itu berbisik pada keheningan dalam dirinya.

***

*) QS Ali Imran : 67 **) Mengingat Tuhan dan asal-usul primordial dikenal dalam banyak bahasa atau agama, di antaranya : dzikir (Islam), smriti (Sanskrit), anamnesis (Plato).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun