Selera berani, begitu bunyi salah satu slogan rokok. Berani diperlukan karena ada faktor resiko. Perokok memang berani menentang aturan dan melawan otoritas (orangtua misalnya), bahkan berani menanggung akibat destruktif rokok pada tubuhnya. Tapi apakah dapat disebut pemberani jika seseorang perlu sesuatu untuk dapat merasa demikian ? Acapkali perokok justru memperoleh keberaniannya setelah ada sesuatu yang dapat menyibukkan tangan dan mulutnya, sebagai pengalih perhatian dan sedikit jeda di sela-sela percakapan yang mencemaskannya. Menurut saya, justru para abstainer-lah yang pemberani, karena lingkungan kita masih menganggap 'lemah' orang-orang yang tidak mau beresiko untuk mendapatkan kesenangan !
Lalu atribut kebebasan, yang oleh Immanuel Kant didefinisikan sebagai : the autonomy or self-determination of rational beings. Seseorang disebut merdeka jika kewarasan akal sehatnya menyetujui keputusan yang dipilihnya. Meminjam bahasa Muthahhari, akal adalah lembaga legislatif - yang menentukan baik-buruk dan benar-salahnya sesuatu-, dan kemauan adalah kekuatan eksekutif. Kemerdekaan terjadi jika ada kesepakatan antara aspek legislatif dan tindakan. Dengan demikian, apakah perokok merupakan pribadi yang merdeka ?
Persahabatan manusia - rokok tidaklah setimpal, karena rokok menuntut terlalu banyak pada manusia. Manfaat yang diberikan rokok tidak pernah bertambah, bahkan seseorang harus selalu merokok (baca : berkorban) lebih banyak untuk mendapatkan kenikmatan yang sama. Jika pada mulanya orang merokok demi kenikmatan, lambat-laun ia akan merokok demi mengurangi penderitaan akibat tekanan fisik, psikis, konflik atau sakit. Hasrat ini sedemikian besar, memaksa, berulang, dan impulsif. Inilah saat dimana seseorang disebut kecanduan : tergantung secara fisik maupun psikologis terhadap sesuatu. Ia sudah kehilangan kemerdekaannya. Akal sehatnya sudah tidak lagi digubris, karena desakan hormonal dan sistem syaraf yang sudah 'terjajah' nikotine lebih terasa dominan.
Kini, benarkah rokok itu "sobat sejati" ?
Jika setia setiap saat merupakan ukuran kesejatian sahabat, nampaknya rokok memenuhi persyaratan itu. Ini karena kita selalu menghubungkan antara kesetiaan dengan ketulusan. (Tapi benarkah rokok itu sahabat yang tulus, tidak memiliki maksud terselubung ? Bisakah ia dipercaya ? Bisakah ia menerimamu sebagaimana adanya ? Memperlakukanmu secara adil ? Tidak menuntut dan mendominasi ?)
Kita memang bebas memilih untuk menjadi homo volens yang bertindak karena desakan internal. Atau menjadi homo mechanicus yang digerakkan oleh desakan lingkungan. Tapi mari kita kembali ke fitrah suci yang hanya dimiliki oleh mahluk yang bernama manusia: menjadi homo sapiens, manusia yang berkehendak bebas dan hanya tunduk pada pertimbangan akal sehat dan hati nurani. Sebab menghormati kebebasan dan peranan akal sehat, berarti mensyukuri karunia Tuhan yang paling besar yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian, mengabaikan keputusan akal sehat berarti menjadi tiran bagi diri sendiri. (Bahkan mungkin juga bagi orang lain).
Akhirnya, hati-hatilah memilih sahabat. Tapi jika Anda memilih bergaul dengan rokok, jangan biarkan dia mengendalikan Anda.
oleh : Tuty Yosenda
--------------------------------------------
*) Sebuah tulisan lama yang dimuat di Kompas pada tanggal 30 Mei 1996.
Sengaja ditampilkan kembali untuk merayakan hari ini, meski isi tulisan ini tidak lagi sepenuhnya mencerminkan pemikiran penulis sekarang. ;-)