Mohon tunggu...
Masyarakat Peduli Pajak
Masyarakat Peduli Pajak Mohon Tunggu... -

Rakyat biasa yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ditjen Pajak.. Atas Nama Pelayanan, Tetap Masuk Kerja pada Hari Libur Nasional Keagamaan

30 Maret 2014   18:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Maret dan April adalah hajatan rutin tahunan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).Bulan Maret adalah periode pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, sementara bulan April adalah periode pelaporan SPT PPh Badan. Sudah menjadi pemandangan rutin bila pada bulan-bulan tersebut kita datang ke kantor pajak melihat banyaknya pihak yang melaporkan SPT-nya.

Apresiasi patut diberikan kepada DJP yang juga membuka layanan pada hari libur, Sabtu & Minggu. Namun sayang sekali sepertinya DJP sedikit mengabaikan ke-bhineka- negara ini. Adanya instruksi untuk membuka layanan pada hari libur keagaamaan dinilai banyak pihak adalah kebijakan yang kurang tepat . Penilaian tersebut berasal dari publik mapupun internal karyawan DJP.

DJP adalah institusi negara, perwakilan negara yang harusnya menjunjung ke-bhineka-an. Tanpa bermaksud mengandung unsur SARA, saya sendiri adalah pemeluk agama Islam, dan pernah bertugas untuk DJP, saya juga mengetahui bahwa kebijakan cuti bersama pada saat hari raya Idul Fitri berdampak kepada saudara-saudara yang beragama selain Islam, yaitu mengalami pemotongan hak cuti tahunan . Banyak yang mengeluh, tapi tidak dapat berbuat apa-apa, hukumnya adalah tidak ada demokrasi dalam birokrasi.

Kebetulan tahun ini saudara-saudara kita yang beragama Hindu merayakan Nyepi pada hari Senin tanggal 31 Maret 2014. Dan pada tanggal tersebut adalah libur nasional keagamaan. Memang ada pengecualian bagi saudara-saudara yang beragama Hindu untuk tidak ikut dalam tugas memberikan pelayanan pada hari tersebut, namun bagi karyawan DJP yang tidak merayakan sudah barang tentu libur panjang dari hari Sabtu sampai Senin tersebut merupakan waktu yang “mahal” untuk dapat bersama keluarga. Setelah seminggu mengalami wajib absen pukul 07.30 dan 17.00, sudah barang tentu “long weekend” seperti saat ini adalah hal-hal yang ditunggu untuk dapat bercengkrama bersama keluarga atau melakukan aktivitas rekreasi lain. Adanya kebijakan untuk masuk pada hari raya keagamaan yang diakui secara nasional, secara moral dan etika ke-bhineka-an dirasa kurang tepat , terlebih dalam aspek memberikan pendidikan kesadaran wajib pajak (WP). Alasannya :

1.Dalam Undang-Undang Perpajakan, WP sudah diberikan jangka waktu 3 bulan bagi WP orang pribadi serta 4 bulan bagi WP badan hukum untuk mempersiapkan pelaporan SPT- nya. Berarti secara efektif ada 60 hari – 80 hari kerja untuk dapat mempersiapkan pelaporan SPT. Waktu sepanjang itu seharusnya lebih dari cukup tanpa harus menunggu date line pelaporan, apalagi sampai memaksakan diri membuka pelayanan pada hari libur nasional keagamaan

2.Bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik. Dikerasin teriak, dilunakin ngelunjak. Kebiasaan “last minute” dalam segala hal termasuk pelaporan SPT adalah cerminan bangsa ini adalah bangsa yang cenderung santai

3.Apakah DJP juga akan memberika equal treatment jika tanggal 31 Maret adalah hari raya keagamaan umat Islam??

Hal-hal sepele seperti ini harus mendapatkan pertimbangan dari DJP dalam menentukan kebijakan. Libur keagamaan nasional adalah kesepakatan bersama antar instansi negara. DJP sebagai salah satu unsur dari institusi tersebut juga harus konsisten dan jangan menganggap institusinya lebih superior daripada institusi lain.Publik sudah mengetahui bahwa superioritas DJP hanya dapat terjadi secara internal, tetapi tidak dalam superioritas eksternal. Intervensi pihak dari dalam maupun luar DJP masih terjadi dalam keseharian tugas-tugas karyawan DJP. Keberadaan kode etik DJP sebagai manual book dalam menjalankan tugas patut diberikan apresiasi, namun adalah tidak bijak jika menjadikan kode etik tersebut berada di atas kitab suci agama-agama yang diakui secara nasional di negara tercinta ini. Hargailah hak karyawan DJP, jangan hanya menuntut kewajibannya saja, karena mereka juga manusia yang sama seperti para petinggi di DJP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun