Panjangnya aspal hitam yang dilintasi bisingnya kehidupanmu. Rasanya saling berdampingan setiap harinya dengan hamparan langit berwarna biru. Kepadatan yang dipenuhi perjuangan diruas-ruas jalan kota. Menjadi media untuk aku dan kamu saling bertegur sapa saat bersama.Banjir, macet, sampah, strata sosial, kaum milenialmu yang suka galau. Memang banyak sekali masalah yang terjadi padamu. Aku tidak mengerti, daerahmu yang begitu lebar. Masyarakatmu banyak yang pintar. Kehidupan yang maju walau terlihat secara samar. Tapi mengapa sulit membuat dirimu menjadi lebih besar.
Kau memang tidak seperti Bali. Tempat dimana banyak orang ingin pergi, dan bersenang-senang sambil menari dengan lenggang. Kau memang tak seistimewa Yogyakarta. Kota yang memiliki kenangan antara aku dan dia, sebelum semua menjadi renggang. Kau memang bukan Bandung. Kota yang berada dibumi Pasundan, katanya dibuat tuhan saat sedang tersenyum. Tapi kau Jakarta, didalammu terdapat kehidupan sebenarnya yang berbeda dengan sekedar praktikum.
Jakartaku.
Cobalah lihat sekelilingmu.
Banyak Orang Tua yang bekerja dengan amat keras, bukan untuk memberikan Rubicon kepada anak tercinta. Namun hanya sekedar untuk menghidupi keluarga kecilnya. Walaupun kehidupan keras khas kotamu, mungkin kadang mematahkan semangat mereka. Lalu, ada para anak muda yang sedang berjuang untuk sukses dalam meraih cita-cita. Walau dalam perjalanan tersebut, terkadang mereka lupa apa yang menjadi tujuannya.
Bertahanlah. Jangan dulu tenggelam.
Terlalu banyak harapan yang ada padamu. Jangan kau buat itu semua menjadi silam.
Tahun depan, kau akan memiliki pemimpin baru. Entah perubahan apa yang akan ia berikan kepadamu. Tapi aku yakin, itu yang terbaik. Dia tak akan membuatmu sakit, justru ingin kamu bangkit. Karena ini bukan hanya tentang sebuah kota, melainkan rumah kita bersama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H