Pada pagi itu, tepatnya pada tahun 1958, matahari bersinar dengan cerah dan menggembirakan di negeri matahari terbit. Masyarakat Jepang dengan semangat samurainya menjalani hari itu dengan hati yang penuh semangat. Hari itu tampak indah dan berkesan, khususnya di Kota Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang.Â
Kota Minamata yang secara geografis terletak di Teluk Minamata, tentunya menjadi surganya hasil laut seperti ikan, rumput laut, kerang, dan lain-lain. Sebagai daerah yang terkepung secara geografis oleh gugusan pegunungan dan laut, tidak salah jika masyarakat di prefektur Kumamoto, khususnya masyarakat kota Minamata memiliki kebiasaan mengonsumsi ikan dengan rata-rata 286 - 410 gram per hari. Angka tersebut tergolong cukup tinggi untuk manusia normal. Tak ayal kebiasaan tersebut menjadi salah faktor pendorong daya kreatifitas dan kecerdasan masyarakat Jepang pada umumnya.
Kebiasaan tersebut memang terlihat mengagumkan, tetapi pada kenyataannya hal tersebut justru menimbulkan efek negatif bagi masyarakat Minamata. Kebiasaan masyarakat Minamata  dalam mengonsumsi ikan, justru menghantarkan mereka ke dalam bencana yang tidak terduga sebelumnya. Mereka mengalami wabah penyakit yang cukup aneh. Ratusan orang di kota Minamata mengalami kematian yang disebabkan oleh kelumpuhan syaraf hingga gangguan kejiwaan. Adapun, masyarakat di kota Minamata yang masih hidup sampai saat ini, mengalami kondisi cacat fisik.Â
Wabah penyakit tersebut dan baiknya mengkonsumsi ikan menjadi dua antitesis yang cukup membingungkan bagi masyarakat kota Minamata kala itu. Keduanya ibarat dua mata pisau bagi masyarakat kota Minamata, di satu sisi kegemaran mereka adalah mengkonsumsi ikan yang berasal dari teluk Minamata dan hal tersebut merupakan hal yang baik, tetapi di sisi lain kegemaran mereka tersebut membawa mereka kepada wabah penyakit yang aneh. Wabah penyakit tersebut dikenal sebagai Minamata Syndrome atau penyakit Minamata.
Minamata Syndrome merupakan wabah penyakit yang penuh dengan misteri pada masa awalnya, hingga diadakannya penelitian oleh Universitas Kumamoto. Masyarakat Minamata kala itu mengalami gejala yang sangat aneh, yaitu kelelahan yang sangat berat, pandangan mata kabur, gerak tubuh yang abnormal, dengung di telinga sampai pada numbness (Agus Pambagio, 2017). Wabah penyakit ini baru bisa menemukan titik terang setelah diadakannya penelitian mendalam oleh Universitas Kumamoto. Dari penelitian yang mendalam tersebut, didapatkan benang merah bahwa Minamata Syndrome terjadi karena adanya kandungan logam berat (methyl mercuri) yang tinggi pada tubuh penderita penyakit ini. Kandungan methyl mercury ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat Minamata mengkonsumsi ikan di teluk Minamata.
Para ahli dari Universitas Kumamoto sepakat bahwa ikan dan air di teluk Minamata telah terkontaminasi oleh limbah methyl mercuri dari Chisso., Ltd. Perusahaan Chisso., Ltd merupakan perusahaan perusahaan listrik tenaga air yang juga memiliki usaha dibidang pupuk kimiawi dan industri kimia (Jenly Mangalik, 2017). Chisso., Ltd tidak memiliki sistem pengelolaan limbah yang baik, hal ini tentu membuat perusahaan tersebut membuang limbah industrinya secara sembarangan yaitu ke teluk Minamata. Hal tersebut menjadi neraka bagi masyarakat di kota Minamata yang sehari-hari mengkonsumsi ikan dari teluk tersebut. Sehingga mereka menjadi pihak yang terdampak dari buruknya pengelolaan limbah dari Chisso., Ltd.
Dampak kelalaian Chisso., Ltd sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di kota Minamata. Perusahaan tersebut telah menjadikan harapan hidup masyarakat Minamata menjadi usang dan hilang. Dampak yang cukup besar ini tampaknya tidak membuat pemerintah Jepang bergerak dan terkesan lamban dalam bertindak, terutama dalam membongkar bangkai yang disembunyikan oleh perusahaan tersebut. Peribahasa "sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga" memang benar adanya, pemerintah Jepang akhirnya membuka kedok perusahaan tersebut dan menyatakan bahwa Chisso., Ltd menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi Minamata.
Tragedi Minamata telah membuka mata pemerintah Jepang bahwa pertumbuhan ekonomi secara masif tanpa diikuti dengan kepedulian lingkungan sangatlah merugikan masyarakat. Tragedi Minamata juga menjadi pukulan telak bagi pemerintah Jepang yang sebelumnya berniat melakukan pertumbuhan ekonomi secara masif, yang justru mengorbankan nyawa rakyat. Tragedi Minamata juga menyadarkan masyarakat dan pemimpin-pemimpin dunia bahwa kepedulian lingkungan menjadi aspek penting dalam pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pada intinya, tragedi Minamata merupakan salah satu akibat dari pengejaran keuntungan yang berlebihan dari kaum borjouis, serta salah satu dampak industrialisasi besar-besaran tanpa didukung dengan kepedulian terhadap lingkungan. Tragedi ini merupakan tragedi yang penuh dengan konspirasi, hingga pada tahun 1968 pemerintah Jepang berhasil mengungkap dalang dibalik tragedi ini, yaitu; Chisso., Ltd. Sungguh rentang waktu yang sangat lama bagi pemerintah Jepang untuk mengungkap perusahaan "pembunuh" kehidupan masyarakat Minamata. Perusahaan ini menjadi bukti konkret tentang sisi kelam Kapitalisme sebagai "malaikat pencabut nyawa", serta neraka bagi masyarakat Minamata yang masih bertahan hidup. Tragedi Minamata menjadi bukti bahwa  Chisso., Ltd layak untuk diberi gelar sebagai contoh "kekejaman kapitalisme". Kekejaman kapitalisme ini benar-benar menghancurkan dan meluluhlantakkan harapan hidup masyarakat di kota Minamata. Uniknya, Pemerintah Jepang seakan-akan tidak peduli dengan tragedi tersebut, Pemerintah justru bersembunyi dibalik topeng sandiwara dengan memainkan narasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara.
Tragedi Minamata yang sangat kelam harusnya menjadi pembelajaran bagi perusahaan dan negara lain, khusus Indonesia. Pada pelaksanaannya, penambangan emas di Indonesia cenderung menyepelekan lingkungan. Hal tersebut terjadi dalam hampir semua perusahaan pertambangan. Di negara zamrud katulistiwa ini, terdapat berbagai oknum pertambangan emas ilegal yang sangat buruk dalam pengolahan limbahnya. Tentunya hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia, jangan sampai Indonesia menjadi Minamata jilid ke 2 yang  akan merugikan negara, rakyat dan alam. Hal yang dapat kita ambil sebagai pembelajaran adalah pentingnya kepedulian terhadap alam. Hal tersebut sekaligus menegaskan kebenaran tentang kata-kata  "Emas adalah harta yang bernilai dan mahal harganya, akan tetapi ada harta yang lebih bernilai dan mahal daripada sebongkah emas, yaitu keselarasan hidup dengan alam dan keselamatan jiwa manusia."
_________
Daftar Pustaka
Pambagio, Agus. 2017. Tragedi Minamata Mengancam Indonesia di https://www.m.detik.com (di akses 29 Maret 2021).
Mangalik, Jenly. 2017. Ekologi Politik: Kasus Pencemaran Teluk Minamata di Jepang di https://www.kompasiana.com (di akses 29 Maret 2021).
Putri, Aditya Widya. .2017. Tambang Emas yang Sembrono Sebabkan Penyakit Minamata di https://tirto.id/tambang-emas-yang-sembrono-sebabkan-penyakit-minamata-cw9q (di akses 29 Maret 2021).
Hn, Â Setiyo. .2017. Mengenang Tragedi Minamata, ketika aktivitas perekonomian mengabaikan faktor lingkungan di https://www.ajarekonomi.com/2017/03/mengenang-tragedi-minamata-ketika.html (di akses 29 Maret 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H