Pemilu yang telah kita lewati beberapa waktu lalu meninggalkan berbagai kontroversi, salah satunya isu “Politik Dinasti” yang terus menjadi perhatian. Fenomena ini terlihat dalam perjalanan politik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang dianggap sebagai simbol keberlanjutan pengaruh keluarga. Kini, isu serupa kembali mencuat di Pilkada Gubernur Banten, dengan keluarga Atut Chosiyah sebagai tokoh sentral. Airin Rachmi Diany, mantan Wali Kota Tangerang Selatan sekaligus bagian dari dinasti tersebut, menjadi salah satu kandidat yang paling diperbincangkan. Kehadiran nama-nama dari keluarga besar ini menghidupkan kembali perdebatan tentang bagaimana politik dinasti memengaruhi demokrasi kita, terutama terkait meritokrasi dan keadilan dalam pemilihan pemimpin.
Dalam artikel ini, saya ingin mengajak pembaca untuk menengok sejarah, khususnya masa Khulafaur Rasyidin, guna memahami bagaimana para pemimpin terdahulu menyikapi hubungan antara kekuasaan dan keluarga. Pendekatan ini diharapkan memberikan perspektif baru terhadap isu politik dinasti dalam konteks modern.
Sebagai contoh, Umar bin Khattab, Khalifah kedua, memberikan teladan luar biasa dalam menghindari politik dinasti. Menjelang wafat, Umar menolak usulan para sahabat agar anaknya, Abdullah bin Umar, menjadi khalifah selanjutnya. Umar berkata, “Abdullah? Jangan! Jangan serahkan tahta kepada siapa pun dari keturunanku!” Penolakan ini bukan karena Abdullah bin Umar tidak memiliki kapabilitas, melainkan karena Umar ingin mencegah kekuasaan menjadi warisan keluarga.
Berbeda dengan Umar, Utsman bin Affan, Khalifah ketiga, memimpin dengan pendekatan yang unik. Ketika pencalonannya dalam Majelis Syuro’, Utsman berjanji tidak akan melibatkan keluarganya dalam pemerintahan demi menghindari nepotisme. Namun, dalam perjalanan pemerintahannya, Utsman memberikan beberapa jabatan penting kepada kerabatnya. Kontroversi ini akhirnya memuncak pada ketegangan sosial, yang berujung pada pengepungan rumah Utsman hingga beliau menjadi syahid. Kisah ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana keterlibatan keluarga dalam kekuasaan dapat menjadi pedang bermata dua.
Meskipun demikian, ada kalanya politik dinasti memberikan dampak baik jika diiringi dengan kemampuan dan niat tulus pemimpin. Contoh modern di Indonesia adalah Zaki Iskandar, Bupati Tangerang. Zaki merupakan anak dari Wahidin Halim, seorang politisi senior yang pernah menjabat sebagai Bupati Tangerang. Meskipun terlahir dalam keluarga politik yang kuat, Zaki membuktikan dirinya mampu memimpin dengan baik, fokus pada pengembangan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, dan pembenahan sektor ekonomi daerah. Kepemimpinan Zaki memberikan bukti bahwa politik dinasti tidak selalu menjadi masalah, asalkan pemimpin yang menggantikan mampu membuktikan diri dengan kinerja yang optimal.
Contoh lainnya adalah Abdullah Azwar Anas, mantan Bupati Banyuwangi, yang membawa daerahnya menuju kemajuan pesat, terutama dalam sektor pariwisata dan ekonomi lokal. Setelah masa jabatannya berakhir, anaknya, Anas Makruf, terpilih menjadi bupati berikutnya dan melanjutkan visi pembangunan yang telah dimulai oleh ayahnya. Meskipun dinilai sebagai bagian dari politik dinasti, Anas Makruf berhasil menunjukkan bahwa kepemimpinan yang berkelanjutan dan inovatif adalah hal yang penting dalam pemerintahan daerah.
Kisah-kisah seperti Zaki Iskandar dan Abdullah Azwar Anas memberikan pelajaran berharga bahwa meskipun politik dinasti sering mendapat kritik, tidak selamanya hal tersebut berdampak buruk. Asalkan pemimpin yang melanjutkan jabatan memiliki integritas, kapasitas, dan komitmen untuk bekerja demi kemajuan rakyat, politik dinasti bisa memberikan kontribusi positif. Tentunya, politik dinasti juga harus disertai dengan transparansi dan tanggung jawab yang jelas agar tidak terjebak dalam praktik nepotisme.
Politik dinasti adalah fenomena yang menarik untuk dianalisis. Sebagai masyarakat, kita perlu melihat isu ini secara objektif tanpa terjebak dalam stereotip negatif. Dengan memastikan kualitas kepemimpinan tetap menjadi prioritas, politik dinasti dapat membawa dampak positif yang signifikan bagi pembangunan bangsa. Semoga perdebatan ini dapat membuka jalan bagi demokrasi yang lebih matang dan adil di Indonesia.
Cagub-Cawagub No 01 Airin-Ade (Sumber: Foto Google)Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H