Mohon tunggu...
Maulana Abdullah
Maulana Abdullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Saya adalah seorang penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gedung Indonesia Menggugat: Kejayaan yang Tertelan Keramaian Kota

19 Desember 2024   15:10 Diperbarui: 20 Desember 2024   17:03 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Indonesia Menggugat (Sumber: Dokumen Pribadi)

Di tengah riuhnya kota Bandung, Gedung Indonesia Menggugat berdiri sebagai saksi bisu dari perjuangan Soekarno ketika menyampaikan pledoinya yang monumental, Indonesia Menggugat. Bangunan bersejarah ini seharusnya menjadi salah satu ikon utama kota, tempat yang memancarkan nilai-nilai perjuangan kemerdekaan, tetapi ironisnya, keberadaannya hampir tak terasa di tengah keramaian. Jalan Perintis Kemerdekaan yang padat, deretan bangunan komersial yang mengelilinginya, dan ketiadaan elemen visual yang menonjol membuat gedung ini seolah tersisih dari pandangan, bahkan oleh warganya sendiri.Budayawan Sujiwo Tejo pernah mengungkapkan kritik pedas dalam sebuah acara televisi, bahwa saat melintas di depan gedung ini, ia tidak merasakan aura sebuah situs sejarah. Hal ini mengungkapkan kenyataan pahit: Gedung Indonesia Menggugat tidak memiliki daya tarik visual yang cukup kuat untuk menegaskan keberadaannya. Ketiadaan ikon, monumen, atau desain fasad yang memikat membuat gedung ini kehilangan identitasnya di tengah kota yang semakin dipenuhi oleh bangunan modern. Lebih menyedihkan lagi, tata ruang di sekitarnya tampak kurang mendukung. Bangunan-bangunan tinggi dan jalan yang sempit membuat gedung ini seperti terkepung tanpa ruang bernapas, menjadikannya semakin sulit dikenali dan dihargai.Masalah ini sempat diangkat dalam debat calon Wali Kota Bandung beberapa waktu lalu, di mana salah satu kandidat menawarkan solusi untuk mengembalikan marwah Gedung Indonesia Menggugat. Ia mengusulkan agar kawasan di sekitar gedung ini ditata ulang dengan membuat ruang terbuka hijau yang memberikan "panggung" bagi gedung tersebut. Langkah ini tidak hanya memperbaiki estetika, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk menikmati nilai sejarahnya. Selain itu, calon tersebut juga menyoroti pentingnya menghadirkan elemen visual seperti patung, monumen, atau pencahayaan artistik yang membuat gedung ini terlihat menonjol, bahkan dari kejauhan atau di malam hari.
Namun, solusi tidak cukup hanya berhenti di situ. Gedung Indonesia Menggugat perlu lebih dari sekadar perubahan fisik. Penting untuk memulai promosi masif melalui berbagai platform media sosial dan kegiatan budaya. Program tur sejarah, pameran seni, atau diskusi publik yang melibatkan generasi muda bisa menjadi cara efektif untuk menghidupkan kembali narasi perjuangan yang pernah terjadi di sana. Bahkan, teknologi modern seperti augmented reality (AR) dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengalaman interaktif yang menggambarkan pidato bersejarah Soekarno, membawa pengunjung ke masa lalu tanpa meninggalkan lokasi.
Selain itu, pembatasan bangunan komersial di sekitar gedung juga perlu dipertimbangkan agar suasana sejarah tetap terjaga. Jika memungkinkan, pemerintah kota bisa menciptakan zona khusus yang memprioritaskan pelestarian warisan budaya. Konsep seperti ini telah berhasil diterapkan di beberapa kota besar dunia, yang memadukan pelestarian sejarah dengan modernitas tanpa mengorbankan salah satu di antaranya.
Gedung Indonesia Menggugat bukan hanya bangunan biasa; ia adalah simbol dari sebuah perjuangan yang menentukan arah bangsa. Jika gedung ini terus dibiarkan terabaikan, kita tidak hanya kehilangan satu ikon kota, tetapi juga melupakan cerita besar yang ia bawa. Sebagai warga kota, sudah sepatutnya kita mendesak pemerintah untuk tidak hanya melindungi fisiknya, tetapi juga menghidupkan kembali semangat yang terkandung di dalamnya. Bandung, sebagai kota yang dikenal dengan kreativitas dan sejarahnya, harus mampu menjadikan Gedung Indonesia Menggugat sebagai kebanggaan yang nyata, bukan sekadar kenangan yang terkubur oleh hiruk-pikuk modernitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun