Ciputat, 25 Maret 2011
Pernah nonton film ‘Freddy VS Jason’? mungkin anda tidak terlalu ingat pada satu bagian ketika pesta di kebun jagung, cowok geek yang naksir si perempuan tokoh utamanya dihina-hina perempuan berkulit hitam yang notabene nya sahabat perempuan tokoh utama (agak ribet ya? Maklum, saya lupa nama-nama tokohnya hehe). Di adegan itu, si cowok geek bilang,
“Kau menghinaku hanya agar kau terlihat lebih baik dariku.”
Saya semacam mendukung pendapat tersebut. Cantik, tampan, jelek, gaul, alay, katro, sebenarnya apa sih yang membedakan semua itu? Toh, semuanya sama-sama manusia, bukan? sama-sama menginjak bumi; sama-sama makan nasi, sereal gandum, atau mungkin roti; sama-sama dilindungi hak asasi. Lantas, kenapa sih masih saja ada pihak-pihak yang sukaaaaa (saya kasih banyak ‘a’ biar semakin dramatis :p) sekali membagi-bagi kasta?
Begini, saya seringkali mendapati kasus intimidasi terhadap kekurangan orang lain di sekitar saya. Ketika orang yang diintimidasi marah, berbagai macam jurus menghindar segera dilancarkan. Beberapa memakai alibi bercanda. Beberapa bilang si empunya kekurangan terlalu sensitif hingga mudah sekali tersinggung. Lalu bla, bla, bla, dan bla yang lainnya. Ah, alasan! Cari saja terus pembelaan untuk intimidasi yang tak mau kalian akui tersebut!
Begini, sebelum bicara lebih jauh, mari kita samakan persepsi. Apa yang anda pahami tentang bercanda? Kalau saya, memahami bercanda sebagai ‘tertawa bersama’. Maksudnya, ketika bercanda itu ada si pencetus candaan, objek candaan, dan partisipan candaan. Pencetus candaan tentunya orang yang hobi ‘ngejek’ (dalam tanda kutip loh, ya!), objek candaan adalah ‘korban’, dan partisipan candaan adalah mereka yang ikut cekakak-cekikik. Jadi ketika ‘ejekan’ itu dilancarkan, harus ada si ‘korban’ yang kelak akan ikut tertawa juga. Pencetus candaan pun harus mampu membatasi candaannya agar tidak menyinggung si ‘korban’. Jika semua ini lengkap, bolehlah kita sebut sebagai ‘bercanda’.
Tapi, bagaimana jika kondisi yang terjadi adalah bercanda tanpa keberadaan si korban alias cuma pencetus candaan dan partisipan candaan. Mereka asik ketawa-ketiwi tanpa diketahui si objek candaan. Apa yang demikian masih bisa disebut ‘tertawa bersama’? Entah apakah memang pemahaman saya tentang ‘bercanda’ itu berbeda dengan orang banyak atau tidak, tapi kok saya merasa yang demikian lebih kepada ‘menertawakan bersama’ ketimbang ‘tertawa bersama’, ya?
Kalau sudah begitu, maka terjadi lah perselisihan. Tak ada yang mau mengakui kesalahan. Padahal akui saja kalau kala itu memang terjadi khilaf. Lalu, minta maaf lah dengan tulus. Tak perlu ada embel-embel: “cukup tau aja ya gue, kayak gini aja ada yang nyampein...” atau “ternyata hati tiap orang tuh beda, maksud kita bercanda tapi ditanggapin lain...” atau banyak lagi kalimat-kalimat setipe yang malah bikin keadaan makin riweuh. Ujung-ujungnya kedua belah pihak akan terlibat ‘perang dingin’. Duh!
Untuk itu, menurut saya sih, kalau mau mencetuskan candaan, harus benar-benar paham kondisi hati si korban. Candaannya juga lebih baik dilontarkan di depan si korban. Kalau semua bisa tertawa dan bisa senang, tak perlu berujung dengan ‘perang dingin’ dan saling gunjing di belakang, kan? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H