Tujuan sekaligus pandangan hidup atau idealisme orang Batak ialah mencapai “Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon.” Hagabeon berarti memiliki keturunan laki-laki dan perempuan/maranakmarboru“hasangapon” berartimencapai“kehormatan, kemuliaan, terpandang di masyarakat). Hamoraon berarti memiliki kekayaan yang kelimpahan secara materi. masalah hagabeon dalam alam pikiran orang Batak sangat penting. Keturunan yang banyak dianggap menjadi bagian yang mempengaruhi kesempurnaan hidup seseorang. Kalau keturunannya banyak, bertambah besar tuahnya. walaupun istilah “gabe” untuk HAMORAON, HAGABEON DAN HASANGAPON FILSAFAT BATAK DALAM TUJUAN HIDUPmasyarakat Batak masa kini terkusus yang tinggal di kota bukan lagi soal jumlah anak yang banyak. Kemandulan istri disikapi sebagai sesuatu yang merendahkan martabat serta kesempurnaan sang suami. Oleh sebab itu pada upacara-upacara, perayaan dan pestapesta adat perkawinan, orang akan selalu memohon supaya pasangan keluarga yang baru membentuk rumah tangga itu mendapat banyak anak, serta kekayaan. Hal ini biasanya disampaikan dalam peribahasa-peribahasa sebagai berikut: “Bintang na rumiris, ombun na sumorop” Anak pe riris, boru pe antong torop.” Artinya, bintang bertaburan, embun bergumpal menutup padang, anak laki-laki berbaris berbaris, anak perempuan banyak/ramai. “Laklak ni singkoru na gantung di ginjang ni pintu, maranak sampulu tolu, marboru sampulu pitu” Artinya: kulit saga-saga digantung diatas pintu, anak laki-laki tiga belas, anak pun perempuan banyak.Dalam sistem patriarkhal yang berlaku dalam adat Batak, hanya anak laki-laki yang diakui sebagai anggota keluarga penuh. Hal itu didasarkan pada kenyataan, karena suatu saat anak perempuan harus meninggalkan rumah orangtuanya untuk menjadi anggota dari keluarga suaminya. Pemikiran itu diuangkapkan dalam peribahasa : “langge so langge, tobu so tobu” Adong boru bulung tu ginjang, so adong anak urat tu toru” artinya : keladi bukan keladi, tebu bukan tebu, ada anak perempuan daun mengembang ke atas, tiada anak lelaki akar meluas ke bawah. makna dibalik filsosofi ini adalah hanya anak laki-laki yang diharapkan dapat memelihara kelangsungan keturunan serta mempertahankan generasi marga/silsilah.Jikalau seorang meninggal dunia tanpa anak laki-laki, meskipun memiliki banyak harta atau memiliki jabatan tinggi serta terpandang di masyarakat hidupnya dianggap tidak bermakna serta tidak sempurna. Dinamika filsafat ini mendorong setiap orang Batak menghendaki adanya anak laki-laki sebagai generasi penerus, agar silsilahnya tidak putus atau hilang. Pembentukan sudut pandang kehidupan (world view) melalui filsafat ini telah mempengaruhi jiwa orang Batak untuk memberikan ukuran penilaian atas kebermaknaan Frank Magnes Suseno dan Roster ManullanglAPORAN uTAMA 15 Soara Batak IeDISI 2 IDeSemBer 2014 Idan kesempurnaan hidup seseorang salah satunya melalui “Hagabeon”.Hasangapon artinya berusaha menjadi orang terpandang dan dihormati dalam masyarakat (bergengsi). Hamoraon setiap orang Batak bercita-cita ingin memiliki harta dan kekayaan, oleh sebab itu orang batak begitu gigih untuk mencari uang. tujuan hidup mencari kekayaan dan kehormatan, menguasai sebagian besar aktivitas hidup sehari-hari. Dalam realisasi pencapaian tujuan itu orang Batak akan berjuang sekuat tenaga. fakta bahwa filsafat hidup Batak masih terus terpelihara dengan baik sampai saat ini terbukti dari dalam pelaksanaan adat filsafat-filsafat hidup itu masih terus didengungkan.filsafat hidup ini sekilas terlihat mengandung nilai-nilai luhur dan mulia sebab tujuan/cita-cita hidup yang telah membathin dalam jiwa orang Batak, memacu orang batak untuk berjuang lebih gigih tidak mudah menyerah, kerja keras, tekun, memiliki antusiaisme yang tinggi, semangat kompetitif, juga tingginya pengharapan akan masa depan.namun satu hal yang patut direnungkan dalam filsafat ini adalah bersifat self oriented (orientasi hidup berpusat pada diri sendiri). Jika tidak di imbangi oleh pertumbuhan rohani yang baik spritualitas atau kedewasaan Iman cenderung akan menimbulkan perilaku disposisi afektik yaitu kenyataan hidup yang tampaknya baik tetapi bukan kebaikan sejati karena penghayatan iman, namun menyimpan kecenderungan tersembunyi untuk mencari pemuasan kebutuhan psikologis sehingga dapat melakukan apa saja termasuk cara-cara yang bertentangan dengan prinsip iman sebagai upaya mencapainya. selain itu dapat menimbulkan presure (tekanan psikologis), konflik tersembunyi (covert conflict dan overt conflict), kehilangan rasa kebermaknaan hidup dan harga diri bagi mereka yang tidak mampu memperolehnya. tingkah laku seseorang adalah cerminan dari apa dan siapa yang dipercayai, sejalan dengan pemikiran tentang siapa dirinya. Jika subyek memiliki iman yang dangkal serta tipisnya kesadaran akan spiritualitas yang bertumbuh dengan segala dampaknya akan membentuk sudut pandang kehidupan dimana “hagabeon, hasangapon, hamoraon”, dianggap sebagai nilai tertinggi dalam hidup dan mengesampingkan kehendak, maksud dan tujuan Allah yang justru sebagai tujuan dan nilai sejati hidup manusia. Kebermaknaan hidup diukur berdasarkan penilaian manusia yang berspusat pada diri sendiri serta pendapat orang lain, tidak lagi memandang arti kehidupan berdasarkan sudut pandang Allah, panggilan untuk melayani, memuliakan dan menuruti kehendak-nya. Kadar spritualitas seseorang menentukan pandangan hidup sikap dan perilakunya. Jika imannya rapuh maka tujuan hidup yang seharusnya berpusat memuliakan Allah diabaikan untuk mencapai ‘hagabeon, hasangapon, hamoraon”. Demi “Hagabeon” pasangan yang membentuk rumah tangga namun tidak dikarunia anak laki-laki dan perempuan (gabe), akan menimbulkan presure (tekanan psikologis) karena menganggap hidupnya tidak sempurna, serta kehilangan rasa kebermaknaan, maka segala daya upaya akan dilakukan termasuk poligami secara resmi atau tersembunyi, tertutup atau terang-terangan bahkan pergi ke dukun yang dapat memberikan anak kepadanya. tanpa adanya kesanggupan untuk menerima realitas serta sikap mensyukuri nuansa kehidupan dengan segala dinamikanya.Ambisius mengejar Hasangapon yang berpusat pada diri sendiri, berusaha meraih status sosial yang tinggi termasuk merebut posisi-posisi jabatan baik di lingkungan masyarakat, kumpulan marga, pekerjaan, bahkan bisa masuk dalam kegiatan-kegiatan rohani seperti merebut posisi jabatan dalam gereja agar terpandang/terhormat tetapi bukan sebagai dedikasi yang tulus melayani Allah.Bukti bahwa adanya usaha mencapai nilai tujuan hidup berdasarkan kekayaan dan kehormatan tanpak dalam setiap pelaksanaan pesta adat dan kegiatan gerejani, sering terlihat pamer perhiasan, pamer kekayaan, serta sikap hidup yang menonjolkan gengsi dan harga diri (kesombongan tersembunyi) dibandingkan kerendahan hati, kesederhanaan dan ketulusan. (mungkin inilah salah satu sebab membuat “lelang” untuk mengumpulkan dana di lingkungan Batak tetap menjadi primadona termasuk di dalam gereja karena secara tidak langsung akan memperlihatkan siapa yang mampu dan berada, terpandang dan dikagumi orang, sehingga memberi bukan lagi sebagai bentuk ibadah kepada Allah melainkan motivasi terselubung dalam upaya mendapatkan “Hasangapon). Keinginan ini dapat menimbulkan persaingan dengan cara-cara yang tidak sehat, perlombaan pamer kekayaan, kepintaran atau keahlian, kepongahan tanpa kemampuan yang wajar supaya menjadi orang terpandang/terhormat, bermartabat, agar kemudian dikagumi orang lain. Perilaku ini bertentangan dengan ajaran kekristenan yang selalu mengajarkan sikap kerendahan hati serta jiwa melayani dengan tulus dan iklas serta memberi t a n p a m o t i v a s i m e n d a p a t k a n p u j i a n d a r i o r a n g l a i n . Tidak diremehkan orang lainDemi mengejar kekayaan agar tidak diremehkan orang lain maka segala cara dapat dilakukan yang penting kaya termasuk cara-cara yang tidak jujur karena lebih mementingkan nilai materi ketimbang nilai iman yang selalu mengajarkan prinsip kejujuran.Kenyataan ini juga dapat memicu timbulnya kecemburuan yang mana orang Batak sering meng istilahkan dengan hotel, yang dipahami sebagai hosom, teal dan late. Kecemburuan terjadi karena perbedaan tingkat kekayaan dan status sosial, tingkat kehormatan, dan sebagainya. namun lAPORAN uTAMA16 I Soara Batak IeDISI 2 IDeSemBer 2014 sebaliknya akan memandang rendah orang yang miskin. untuk merelealisasikan agar tetap terlihat sebagai orang Kristen yang baik dan beriman yang menentang materialisme, keserakahan dan kesombongan muncul rasa malu untuk mengakuinya secara mencolok maka terbentuklah sikap kepura-puraan/kepalsuan. Pura-pura tidak begitu mementingkan kekayaan dan kehormatan supaya dianggap rohani, pura-pura mengesampingkan harga diri padahal motivasi aktivitas hidupnya justru mengejar hal tersebut. disinilah terjadi disposisi afektif serta ketidak sesuaian antara tuntutan iman yang seharusnya dengan perilaku hidup yang dijalankan. Kadang-kadang muncul dalam bentuk yang halus, yaitu dalam kecenderungan untuk menafsirkan secara subyektif nilai-nilai obyektif yang berasal dari firman Allah atau segala bentuk keharusan serta kewajiban yang datang dari konsekuensi mengikut yesus secara total dan konsekuen.Kekaburan nilai rohanisituasi ini untuk sebagian orang Batak menghasilkan ketidak seimbangan sistem motivasi dan sistem nilai hidup beriman. Kekaburan nilai rohani dalam hidup beriman ini disebabkan oleh dorongan motivasi untuk mengejar pemenuhan kebutuhan sosial, psikologis lebih daripada kesetiaan penghayatan iman, sehingga orang lebih suka mengejar nilai filsafat hidup daripada berjuang dalam kesetiaan iman yang mengandung resiko salib. memisahkan keyakinan iman dengan tujuan keduniawian yang berakar pada tradisi, membenarkan cara-cara hidup keduniawian yang prapon dan yang sakral, demi kekayaan dan kehormatan, mengingkari inti iman kepercayaan, padahal iman harus menyatu dengan perbuatan serta totalitas hidup, pembatinan nilai iman Kristen cenderung hanya bersifat slogan.Perilaku hidup seperti ini akan nampak menonjol bagi mereka yang belum sepenuhnya mampu membatinkan nilainilai iman Kristiani dalam segala aktivitas hidup, pelaksanaan nilai iman belum menjadi darah daging. Perkembangan masyarakat masa kini dan keterbukaan partisipasi secara luas oleh pengaruh globalisasi memberi peluang untuk semakin memperjuangkannya. Demi kekayaan dan kehormatan, orang mengingkari inti iman kepercayaan yang sifatnya totalitas. upaya mencapai kehormatan, sering menimbulkan disposisi afektif antara perbuatan kasih dan harga diri yang tersembunyi karena dalam kenyataannya justru faktor kehormatanlah yang sering menyulut konflik diantara kerabat dekat, kerabat luas, maupun organisasi sosial dan agama. Kehormatan kerabat dekat maupun luas, juga menjadi alasan munculnya ungkapan tradisional yang bernada solidaritas fanatik “marbulu suhar”; suhar bulu ditait dongan, suhar taiton” atau aksi solidaritas mendukung saudara walaupun saudara tersebut bersalah. Bila seorang saudara menarik batang bambu secara terbalik (tentunya sulit ditarik), maka saudaranya yang lain turut menarik secara terbalik pula. Aksi marbulu suhar merupakan bentuk peran tradisional yang dilakukan oleh orang yang masih mengadaptasi nilai-nilai tradisional dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan nilai nilai iman kristiani secara utuh yang selalu berpihak pada Kasih, kebenaran, keadilan dan kejujuran.Kasus-kasus lain juga memberikan gambaran bahwa kehormatan dan harga diri justru sering menjadi penyebab konflik yang sangat tinggi intensitasnya serta melibatkan banyak orang atau kelompok. Idealisme hubungan sosial yang berlangsung diantara orang Batak digambarkan demikian baik dan indah sesuai ajaran agama Kristen. Akan tetapi dalam kenyataannya justru tidak sebaik dan seindah ungkapan-ungkapan iman tersebut. Ada kecenderungan bahwa mereka hidup di antara khayalan indah (sisi Kristen) dan kenyataan yang menggelisahkan karena masih berpegang kuat kepada nilai tradisi warisan budaya leluhur (sisi filsafat hidup), baik yang tersembunyi maupun yang terbuka, dalam aktivitas bermasyarakat maupun organisasi rohani. sedangkan upaya pembatinan esensial nilai iman Kristen sering terjadi hanya pada peragaan sisi luar yang dapat dilihat orang lain atau hanya sebatas ide, tetapi tidak mencerminkan kenyataan menjadi gaya hidup secara total.untuk menghayati tujuan hidup , harga diri, kehormatan dan kebermaknaan diperlukan pembatinan iman, yang berarti bukan hanya soal mengerti dan memahami kerohanian Kristiani, tetapi lebih soal mengendapkan dan menjadikan hal itu melekat dalam jiwa sehingga setiap saat menjadi disposisi untuk menghadapi aneka tantangan; menjadi kerohanian yang hidup dalam batin kita sendiri. untuk membatinkan kita harus terus menerus membangun hubungan akrab dengan Allah, menyelami firman-nya serta penyerahan Hidup secara total pada pimpinan dan Roh Kudus.Hanya didalam Allah manusia menemukan asal usul serta tujuannya, identitas, makna hidup, nilai diri, pentingnya kita, dan masa depan kita. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus yesus untuk melakukan pekerjaan yang baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup didalamnya (efesus 2:10); ..segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia (Kolose 1:16). Pencarian makna dan tujuan hidup yang berpusat pada diri sendiri tidak akan pernah menyingkapkan jawaban sejati dan tidak akan pernah mendapat kepuasan. Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon, semuanya harus di awali dari Allah, bersama Allah dan untuk tujuan Allah. tanpa Allah hidup kita tidak bisa dipahami dan yang ditemukan adalah kepalsuan. sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama lamanya. (Roma 11:36). Penulis Roster Manullang adalah seorang dosen teologia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H