Jember Fashion Carnaval atau sering disebut JFC adalah sebuah acara karnaval busana yang setiap tahun digelar di kota Jember, Jawa Timur. JFC digelar sejak tahun 2003 sampai sekarang ini. Â Karnaval ini digagas oleh Dynand Fariz bersama Rumah Mode Dynand Fariz, yang juga pendiri JFC Center (JFCC).Â
JFCC adalah lembaga nirlaba yang menaungi kegiatan JFC dan dikelola secara profesional dan diaudit oleh lembaga yang berwenang. Program utama JFC adalah penyelenggaraan karnaval setahun sekali dengan tema berbeda setiap tahunnya yang diikuti lebih dari 400 peserta di jalan utama Jember dan disaksikan oleh raturan ribu penonton di kanan dan kiri jalan. Karnaval ini telah menjadi sangat populer dan menjadi salah satu daya tarik wisata di Jember. Para peserta karnaval membuat busana yang seluruhnya dikompetisikan untuk meraih penghargaan kreasi busana terbaik. Â Para peserta terbaik dalam berbagai kategori mendapatkan penghargaan JFC Awards. JFC sekarang sudah menduduki peringkat ke 4 karnaval dunia.Â
JFC tahun ini meriah dengan kehadiran Presiden Jokowi yang diselenggarakan pada tanggal 13 Agustus 2017. Kedatangan Presiden Jokowi ke Jember juga dalam rangka kunjungan kerja. Jokowi akan menyerahkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada 60.000 siswa di Kabupaten Jember. Kemudian meresmikan rumah susun sederhana di Ponpes Bustanul Ulum di kecamatan Wuluhan. Selanjutnya menyerahkan sertifikat Prona/Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PSTL) dari Badan Pertanahan Nasional, dilanjutkan silaturahmi di kediaman KH Achmad Muzakki Syah, pengasuh Ponpes Al Qodiri, Kelurahan Gebang, Kecamatan Patrang.
Bicara Kabupaten Jember maka akan teringat dengan Bupati Perempuan seorang dokter yang cantik, beliau bernama dr Faida. Bupati yang tak habis-habis mendapat kritikan dari berbagai kalangan mulai PNS, DPRD , beberapa wartawan dan masyarakat. Kabupaten Jember untuk pertama kalinya dipimpin oleh perempuan. Latar belakangnya berasal dari dokter, kalangan masyarakat sipil dan belum pernah bahkan baru menjabat di permerintahan. Boleh dikatakan terakait ilmu pemerintahan masih perlu banyak belajar dari ketertinggalannya.Â
Tantangan berat bagi kepemimpinan perempuan di Indonesia yang notabene berasal dari masyarakat sipil tanpa latar belakang keluarga pengusaha dan pejabat. Peluang perempuan diranah politik bukan hal yang mudah dibandingkan dengan laki-laki. Peran ganda dari seorang perempuan masa kini selain memiliki tanggung jawab didalam rumah sebagai ibu juga diluar rumah sebagai wanita karier. Melalui peran ganda ini, perempuan harus benar-benar mengatur kedua perannya tersebut agar tidak terabaikan.
Perjuangan panjang dan bahkan perlu ekstra mengejar ketertinggalannya bagi perempuan "mulai dari politik dapur menuju politik publik".
Peran perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, itu juga telah diamanatkan oleh konstitusi Indonesia pada Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada penggalan Pasal 28D ayat 1 berbunyi "setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum".Â
Hal ini mengartikan bahwa laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki hak yang sama dihadapan hukum, berperan politik, berperan dalam dunia pendidikan, berperan dalam dunia kesehatan, dan berperan dalam bentuk apa pun pemi kemajuan dan keutuhan negara tercinta yakni Negara Nesatuan Republik Indonesia. Intinya negara menjamin dan melindungi setiap warga negara dihadapan hukum tanpa ada pemebedaan jenis kelamin dan gendernya.Â
Disamping itu merujuk pada Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan "setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".
Hal ini menguatkan perempuan diranah publik, termasuk penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Rapat paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang Pemilu, Jumat pada tanggal 21 Juli 2017 Â yang menetapkan bahwa ambang batas pemilihan presiden sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu legislatif tersebut (Opsi A). Ini merupakan peluang besar bagi perempuan untuk menunjukkan existensi dan kapasitas dirinya yang mampu bersaing dengan laki-laki di bidang politik.
Tapi dalam kenyataannya kepemimpinan perempuan di Indonesia masih diragukan, ditambah dengan perhelatan yang tak pernah akur dengan mitra kerja baik di eksekutif, legislatif dan pemberitaan media yang hoax yang tidak secara objektif dalam penulisannya. Makin memberikan stigma yang negatif bagi kepemimpinan perempuan itu sendiri. Perlu disadari masyarakat kita yang literasi medianya minim sehingga asal-asalan bahkan menelan mentah-mentah setiap informasi pemberitaan baik berita cetak, media online dan media sosial yang cenderung memutar balikkan fakta.Â