Mohon tunggu...
sumantri suwarno
sumantri suwarno Mohon Tunggu... -

pengembara kehidupan, sedikit membaca, banyak mencerna....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyembuhkan Partai yang Sakit

18 Oktober 2012   03:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Liputan massif media atas kasus korupsi Wisma Atlet yang menyeret Bendahara Umum Partai Demokrat semakin terlihat berdampak langsung kepada popularitas Demokrat. Hasil survey termutakhir LSN (Lembaga Survei Nasional) yang dipublikasikan senin 15 Oktober, 2012 menunjukkan popularitas Demokrat turun pada titik terendah sepanjang sejarah partai hingga ke level 5,9 persen. Demokrat berada di posisi keempat setelah Partai Golkar dengan 18,2 persen dan PDI Perjuangan 14,4 persen dan Gerindra 12,5 persen. Layaknya produk bisnis, popularitas yang turun bisa berujung kepada penurun penjualan dan kebangkrutan di ujung akhirnya.



Para elit Demokrat sendiri dalam pernyataanya menanggapi hasil survei, mengakui adanya kemerosotan popularitas ini. Bahkan secara terang beberapa pengurus menyebut permasalahan hukum yang menyangkut beberapa kader utamanya menjadi sumber memburuknya citra partai. Bahwa elit Demokrat juga menunjuk agresivitas media dan lawan politik menggoreng isu negatif buat Demokrat, penting untuk dicatat bahwa Partai Demokrat  mengakui masalah ini muncul karena adanya figur demokrat yang bermasalah.



Menyepakati Persoalan

Jika melihat keseluruhan isi pernyataan elit-elit Demokrat atas prahara di partainya, terlihat sekali bahwa mereka ingin menyamakan persepsi di antara kader-kadernya atas fakta merosotnya popularitas Demokrat. Penyamaan persepsi ini menjadi sangat penting mengingat sudah muncul friksi yang tajam atas penyebab kemerosotan Demokrat. Satu kubu meyakini penyebabnya adalah dugaan keterlibatan Ketua Umum , di pihak lainnya meyakini kemerosotan adalah hal yang normal dalam dinamika politik partai. Bahkan Anas Urbaningrum sendiri mengatakan bahwa popularitas partai juga terkait dengan kinerja pemrintahan SBY secara keseluruhan.

Identifikasi persoalan dan menemukan akar permasalahan menjadi sangat penting dalam menghadapi situasi-situasi krisis seperti yang dialami oleh Partai Demokrat. Bukan karena semata-mata skala persoalan yang besar tetapi juga karena krisis selalu menyediakan waktu yang pendek untuk mengambil tindakan. Kesalahan pemahaman atas persoalan, akan menyebabkan tindakan salah dan proses kerusakan menuju kepada titik yang tidak bisa diselamatkan.

Dari beberapa pernyataan SBY sendiri , secara implisit SBY seakan menyetujui pendapat salah satu kubu, bahwa kemerosotan Demokrat disebabkan oleh dugaan keterlibatan fungsionaris DPP terutama Ketua Umum dalam berbagai kasus korupsi yang diperbincangkan di publik,  Anas Urbaningrum. Hanya saja, SBY baru sampai pada tahap berhasil membangun kesepakatan atas sumber masalah. Tetapi - dengan gaya khasnya yang cenderung menjaga perasaan semua pihak - tidak mengambil tindakan dengan kewenangan formal dan kultural yang melekat kuat di dirinya sebagai “single founding father” Partai Demokrat.

Krisis Organisasi

Adanya persamaan persepsi atas penyebab menurunnya popularitas partai yang tidak ditindaklanjuti dengan langkah yang terukur, sejatinya justru menumbuhkan level krisis di Demokrat dari sekedar kesalahan beberapa pengurus menjadi menjadi krisis organisasi. Erika Hayes James, ahli psikologi organisasi dari  University of Virginia’s Darden Graduate School of Business seperti dikutip Wikipedia dari artikel “Leadership as (Un)usual: How to Display Competence In Times of Crisis”, mendefinisikan krisis organisasi sebagai “ kondisi emosional yang terpublikasi yang mengundang reaksi negatif dari publik yang berpotensi mengancam kinerja dan kelangsungan hidup organisasi”.

Jika kondisi di Demokrat terus memburuk , maka berdasarkan tipologi krisis menurut Erika Hayes James, yang terjadi di Demokrat ini dapat dikategorikan sebagai smoldering crisis, yaitu krisis yang tidak datang secara tiba-tiba tetapi dimulai dari konflik internal kecil yang karena ketidaktegasan pemimpin berubah menjadi krisis organisasi. Dan jika dilihat dari proses-proses konsolidasi oleh kelompok Forum Pendiri Partai, maka sesungguhnya konflik internal di Demokrat masih terjadi dan dapat berujung kepada krisis organisasi.





Menghadapi ancaman krisis organisasi ini, SBY seharusnya cepat melakukan tindakan penghentian dampak kerusakan. Tindakan nyata dan bukan sekedar pernyataan yang tepat dapat memberikan dampak positif secara eksternal maupun internal. Dalam banyak buku teks manajemen,  proses paling menentukan dalam manajemen krisis adalah mengentikan laju penurunan kinerja atau kerusakan. Sama seperti dokter yang harus lebih dulu menghentikan pendarahan sebelum melakukan tindakan penyembuhan.

Penggantian Ketua Umum

Lalu apa tindakan yang tepat bagi SBY untuk melokalisir dan mengentikan laju penurunan popularitas Demokrat ? Dalam sebuah artikel di Jurnal The Executive
Vol. 6, No. 3 (Aug., 1992), “Curing Sick Businesses: Changing CEOs in Turnaround Efforts"
penulis Gary J. Castrogiovann dkk.  menuliskan, penggantian CEO/ pemimpin sering  dijadikan langkah awal pembenahan organisasi. Di kasus Partai Demokrat, jurus ini menjadi semakin relevan mengingat dari respon publik maupun persepsi internal, citra Ketua Umum dianggap sebagai salah satu sumber menurunnya kinerja partai.

Salah satu kisah pergantian CEO yang dianggap sebagai pembalikan arah terdramatis adalah masuknya Lea Iacocca ke Chrysler pada tahun 1978, saat Chrysler mencatatkan kerugian terbesar sepanjang sejarah korporasinya.  Setelah melakukan konsolidasi dengan memanfaatkan posisinya sebagai CEO sepanjang tahun 1979, Lea Iacocca berhasil membawa Chrysler kembali mencatatkan keuntungan pada tahun 1982. Kiprah Lea Iacocca di Chrysler ini dikenang sebagai salah satu (turn around) pembalikan arah yang paling fenomenal.

Pergantian pimpinan ini, tentu mensyaratkan banyak hal untuk dapat menghasilkan dampak yang maksimal. Figur pengganti yang tepat menjadi salah satu syarat utama, bukan hanya kapabilitasnya tetapi juga dukungan dari seluruh pemegang kepentingan. Jika identifikasi persoalan menyimpulkan bahwa citra partai hancur karena indikasi korupsi, maka tentu tidak mungkin mengganti Ketua Umum dengan figur yang juga terseret dalam pusaran kasus yang sama.

Lea Iacocca cepat membenahi Chrysler karena dia mempunyai wewenang penuh melakukan konsolidasi termasuk membawa beberapa kolega lamanya dari Ford. Yang juga perlu dicatat, Lea juga melakukan pembersihan beban perusahaan dengan melakukan PHK banyak pekerja, serta menjual divisi Eropa yang merugikan ke Peugeot. Langkah pembersihan ini menjadi tidak dihindarkan jika mengingat kampanye Demokrat dan penyataan-pernyataan SBY untuk menjadikan kader Demokrat sebagai pribadi yang santun dan bersih.

Bola di Tangan SBY

Dibandingkan dengan Partai  Demokrat saat ini, kisah Chrysler tahun 1978 hampir sama. Chrysler mencatatkan kerugian terbesar, dan Partai Demokrat memperoleh popularitas terendah dalam sejarah kepartaian. Walaupun secara tataran praktis berbeda antara manajemen korporasi dan partai politik , tetapi Demokrat tetap bisa belajar dari kisah sukses penyelamatan organisasi seperti yang dilakukan oleh para pemegang kepentingan di Chrysler. Kisah itu tidak hanya mencatat tangan dingin Lea Iacocca tetapi juga keberanian pemegang saham Chrysler memutuskan penggantian CEO di masa tersulitnya.

Sejarah pendirian Partai Demokrat menempatkan Figur SBY sebagai tokoh politik terkuat di Indonesia saat ini. Kekuasaan SBY di Demokrat jauh lebih besar daripada Aburizal Bakrie di Golkar, ataupun Megawati di PDIP. SBY dengan jabatan formal sebagai Ketua Dewan Pembina dan pendiri partai, menggengam pengaruh struktural dan kultural sekaligus. Hampir tidak mungkin ada resistensi atas setiap keputusan yang diambil, kecuali halusinasi ketakutan yang mungkin muncul dari dirinya sendiri.

Pernyataan SBY  bahwa tindakan akan diambil jika telah muncul ketetapan status hukum dari KPK hanya benar dalam kacamata ketaatan terhadap prosedur internal, tetapi tidak tepat sebagai respon atas krisis yang terjadi di Demokrat. Bukan hanya karena wilayah hukum dan moralitas politik itu berbeda, tetapi karena secara faktual laju penurunan popularitas Demokrat sudah terjadi. Tulisan ini menjadi tidak tepat jika memang ternyata kepemimpinan di Demokrat - dalam hal ini Ketua Umum - tidak mendapatkan tugas mengamankan kinerja partai. Dan semata-mata alat kelengkapan partai untuk memenuhi struktur normal di semua partai politik. Kita akan menunggu kemana bola digulirkan SBY di injury time ini. Apakah akan menerima kekalahan atau mengubah arah pertandingan.

****




Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun