Setidaknya dalam bahasa Inggris ada dua macam pendekatan (dalam tulisan ini, secara khusus pendekatan terhadap kepentingan publik).
Penulis buku How Democracy Die (versi bahasa Inggris), mengatakan bahwa presiden Venezuela, Caldera, mendekati masyarakat  dengan public flirtation (dimana flirtation jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bermakna "menggoda atau bujuk rayu", jelas konotasinya demi kepentingan pribadi).
Rafael Caldera, yang sudah ujur pada saat itu, yang karir politiknya sudah memudar, masih menginginkan posisi presiden sekali lagi sehingga menggunakan metode public flirtation, demi mendapatkan suara kemenangan pada pemilihan presiden. Tetapi tindakan ini malah membuka lebar kesempatan bagi Chvez (presiden selanjutnya), si tukang kudeta, si calon independen antipartai, untuk memiliki legitimasi di ranah pemerintahan.
Von Papen di Jerman, Caldera di Venezuela, Giolitti di Italia dan sederet nama politikus tua yang suka mengira kubu mapan (golongan arus utama) mereka dapat bertahan sampai akhir zaman. Merasa sudah mengekang Hitler, Mussolini dan Chvez, yang ternyata adalah orang-orang "demagog", merupakan tindakan paling sembrono, kalau mengingat apa yang terjadi di masa kemudian di bawah pemerintahan  Hitler, Mussolini, dan Chvez.
Bukan ingin mengatakan bahwa Hitler, Mussolini dan Chvez adalah pemimpin yg tidak mementingkan diri sendiri. Namun, menurutku, pengikut mereka bukan didekati dengan cara public flirtation, seperti yang dilakukan oleh para establishment politicians sebelumnya.
Mereka memakai public approaching, yang kemungkinan besar mengkampanyekan slogan "senasib sepenanggungan".
Memang, tidak semua masyarakat Jerman, Italia, dan Venezuela merasa "senasib sepenanggungan" dengan ketiga orang ini.
Tapi, sejarah mencatat mereka mampu menggerakkan banyak orang untuk membuat dunia rusuh, mengambrukkan tatanan lama dan memaksa dunia tidak berkutik pada suatu rentang masa.
Hanya saja, setelah ketiga demagog ini berkuasa, mereka jadi sama saja. Bertransformasi menjadi "monster" bahkan lebih ngeri dari pendahulunya yang juga suka sekali jadi pemimpin "seumur hidup".
Pemimpin di Indonesia bagaimana menurut kalian? Kebanyakan memakai Flirtation atau Approaching? Mengiming-imingi dan mengoda masyarakat atau bawahan dengan bantuan/program/jabatan? Atau pemimpin yang menarik perhatian publik dengan merasa senasib sepenanggungan tapi nantinya berubah jadi monster?
Atau adakah memang pemimpin yang mengakui kepentingan masyarakat dan kemerdekaan berpendapatnya?
Yang terakhir sepertinya sangat sulit ditemui dalam diri orang yang punya power.
Riset politik_mantilyholmesÂ
terhadap buku ;
How Democracies Die (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H