Mohon tunggu...
Mantily Holmes
Mantily Holmes Mohon Tunggu... Lainnya - Kita Harus Baca

Content Researcher, pendengar dan pemain musik | Trust Christ , not religion | Founder of Kita Harus Baca | Setia seperti ASU, tapi menyebalkan dan susah mati seperti kecoa Madagaskar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sarjana Kok Jualan?

18 September 2018   21:16 Diperbarui: 20 September 2018   12:46 2665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.duniakerja.co

Pertanyaan ini adalah yang selalu ditanyakan oleh banyak orang ketika saya baru memulai usaha di kota Medan. Usaha martabak mini. Setelah menyelesaikan perkuliahan, memang saya mengambil risiko untuk tidak melamar pekerjaan demi membuka usaha. 

Saya menyewa lapak teras yang disediakan salah satu minimarket kenamaan dengan biaya sewa saat itu 500 ribu rupiah. Pada awalnya dagangan saya cukup laris, karena banyak kenalan teman-teman mahasiswa yang membeli. 

Tetapi tentu saja saya tidak dapat bergantung hanya pada kenalan. Saya juga kurang bisa mengatur keuangan, dan tidak terpikir soal cara mengembangkan pemasaran serta inovasi produk , karena saya sendiri yang mengelola semuanya dan tidak banyak pengalaman. Dan memang, lambat laun semakin sepi dan saya cukup merugi.

Kemudian saya memindahkan lapak ke depan rumah kontrakan yang saya tinggali bersama kawan-kawan dari pelayanan kampus. Saya belajar membuat menu baru dan akhirnya tidak hanya menjual martabak mini tapi juga roti bakar dan juice. 

Keuntungan saya membuka lapak di depan rumah kontrakan adalah tidak ada biaya sewa tempat. Dan pada waktu itu cukup banyak orang yang membeli karena memang lokasinya berada di sekitar bangunan atau rumah kost anak kuliahan.

Saya berinisiatif membangun tenda di depan rumah karena pelanggan yang cukup banyak. Tetapi, menjadi seorang entrepreneur itu bukan pilihan karir yang gampang. 

Saya pernah "diusir" oleh bapak kepala lingkungan karena dianggap membangun sesuatu tanpa izin. Padahal saya bangun di depan area parkir rumah kontrakan dan sudah meminta izin pada pemilik rumah. 

Saya paham tata cara pengurusan surat izin berusaha, berhubung saya juga dulunya menulis skripsi tentang hal yang sama. Dan saya yakin bahwa saya tidak bersalah secara aturan pemakaian area, karena tidak membangun sesuatu di jalan lintas kendaraan dan tidak mengganggu penduduk setempat. Namun, saya tidak mau berdebat di "kampung orang", karena saya memang bukan penduduk asli Medan. 

Dan saya tahu mereka sebenarnya ingin minta uang tip. Dan bapak kepala lingkungan itu sampai membakar ujung tenda jualan saya. Saya sedih sekali, bukan hanya karena saya digusur tidak sesuai aturan, tetapi juga karena masih adanya orang-orang yang tidak paham peraturan.

Setelah digusur saya trauma untuk melanjutkan cita-cita jadi pengusaha. Sebelumnya, saat ada orang bertanya "Tamatan sarjana , kok malah jualan?" 

Saya dengan bangga menjawab, "Saya tidak mau menjadi bawahan, meski di bawah perusahaan atau lembaga besar. Saya mau jadi bos, meski usaha yang saya jalankan kecil-kecilan. Saya mau membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang tidak bisa kuliah seperti saya. Itu gunanya saya sekolah sampai sarjana. Sebab apa gunanya ilmu yang sudah saya pelajari kalau hanya diaplikasikan di bawah aturan dan sistem yang kaku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun