True Story : Cara Kerja Mafia Gudang
Gudang mafia di sini maksudnya adalah gudang-gudang yang di buat di pinggir jalan lintas Sumatera, yang beroperasi menampung barang yang dijual para sopir truk. Jenis barang yang ditampung juga beragam, mulai dari CPO alias minyak sawit mentah, inti sawit, pupuk, logam tua, sembako termasuk beras, solar, ban, dlsb.
Sopir truk biasanya menjual barang-barang yang diangkutnya itu, untuk menambah penghasilan, karena memang gaji mereka sangat kecil, dibanding resiko pekerjaan yang mereka lakukan. Jika dihitung saat ini, gaji mereka hanya berkisar 50-60 ribu rupiah perhari. Tidak sebanding dengan pengeluaran mereka sepanjang perjalanan.
Seorang kawan sopir pernah berkata bahwa mereka itu memang seolah disuruh mencuri oleh pemilik armada angkutan. Jika ada pihak yang mengadukan perbuatan sopir itu kepada pemilik armada, maka serta merta pemilik armada akan mengatakan bahwa tidak ada sopirnya yang berbuat curang seperti yang disangkakan. Jadi, jangan harap akan ada penindakan dari pemilik armada.
Begitu pula kalau diadukan kepada pemilik barang. Mereka umumnya akan diam saja, tidak mau mengadukannya kepada pihak yang berwenang. Sebab, bila mengadu, berlakulah pepatah : hilang kambing mengadu, bisa-bisa kehilangan sapi. Paling-paling kalau kerugian dirasa sudah terlalu banyak, mereka akan mengganti tempat menyewa armada angkutan. Tapi ya..., kasus serupa akan terulang lagi. Begitulah seterusnya.
Adapun cara kerja para mafia gudang itu adalah sebagai berikut :
1.Pupuk.
Pupuk yang bisa disuling, alias dikurangi isi goninya, adalah pupuk yang akan dikirim ke gudang perusahaan perkebunan. Pupuk yang akan dikirim ke gudang distributor atau toko penjual, maka para sopir tak berani mengerjainya.
Jahitan goni dibuka, pupuk diambil sekira lima kilogram per goni, lalu diganti dengan pasir. Goni lalu dijahit ulang. Goni pupuk yang sudah dikerjai disusun di sebelah dalam bak truk, sedangkan yang masih utuh disusun untuk menutupinya.
2.CPO.
Ada tiga cara mencuri CPO, dengan diganti atau tidak diganti bahan lain, dan dengan menggulingkan truk masuk sungai kecil.
Bila yang dijual cuma sebatas satu gelang drum, atau sekitar tujuh puluh kilogram kebawah, maka tak perlu diganti. Karena jumlah itu masih dalam batas maksimal toleransi penyusutan. Tapi harus juga diingat, bila CPO yang diangkut suhunya diatas 50 derajat celcius, maka tidak bisa kalau tidak diganti. Karena makin panas suhu CPO, makin besar penyusutannya. Kadang jumlah penyusutan alami CPO itu dapat mencapai batas maksimal toleransi penyusutan, sehingga kalau dicuri dan tidak diganti maka akan ketahuan. Penggantinya adalah air panas yang diberi gincu kuning dan dicampur detergen, biasanya Rinso. Detergen akan membuat air menjadi menyatu dengan CPO.
Pernah sekali ada satu tangki CPO kapasitas 25 ton, diturunkan habis oleh sopirnya. Tangki kemudian diisi dengan air kolam yang diberi gincu kuning. Waktu itu menjelang lebaran, dan aku dengar sopirnya akan mencoba menyuap mandor bongkar gudang CPO Belawan. Bila mandor tak mau disuap, maka ia akan meninggalkan truknya begitu saja, alias akan lari meninggalkan truknya di gudang bongkar CPO di Belawan. Toh, truk itu bukan miliknya. Uang yang dikantonginya juga sudah cukup untuk buka usaha kecil di kampungnya di negeri Antah Berantah.
Atau, bisa juga modus super nekad begini : CPO dijual ¾ tangki, lalu truk tangki dibawa masuk ke sungai kecil. Mur baut bohel yang mengunci tangki dengan truk terlebih dahulu dibuka, hingga tangki akan terlepas dari truk dan terguling. CPO yang tinggal seperempat kapasitas itu akan tumpah ke sungai, disengaja untuk menutupi jejak pencurian.
3.Inti sawit alias kernel.
Seluruh muatan diturunkan, lalu dikurangi sesuai keinginan. Biasanya sekitar sepersepuluhnya. Jadi, kalau muatan ada 30 ton, yang dicuri sekitar 3 ton. Yang 27 ton dibagi menjadi 4 ton dan 23 ton. Yang 23 ton kemudian dicampur dengan 3 ton tempurung biji sawit, Setelah ini dimuat, baru bagian atasnya ditutupi dengan 4 ton inti sawit yang masih asli.
Mafia ini tidak bisa berdiri sendiri. Semua pihak terkait biasanya terlibat. Mulai aparat, pemilik gudang, sopir sampai mandor penerima barang. Bahkan, beberapa gudang adalah milik aparat. Setoran ke atasan biasanya perbulan. Untuk semua satuan unit aparat terkecil tingkat kecamatan, setoran berkisar lima ratus ribu rupiah sampai satu juta sebulan. Kalau ke atas lagi, tentu jauh lebih besar. Gudang kami, dulu sekali, bahkan pernah disambangi oleh orang yang punya dua melati kuning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H