Mohon tunggu...
Mantan Mafia
Mantan Mafia Mohon Tunggu... -

Aku seorang mantan anggota mafia. Berdarah dingin. Sekarang sedang berjalan mencari Tuhan. Does God exist? Why human created too much Gods?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

True Story : Pertempuran Hidup Mati dengan Penjarah Tanah

10 Juni 2013   19:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:14 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

13 April 1996, pukul 18.45.

Niko Sinaga dan Parman Kemot nongol di depan pintu rumah. Wajah mereka agak tegang. namun tersamarkan oleh cahaya lampu teras yang meredup.

“Ada apa?”, tanyaku cepat.

“Ketua nyuruh kumpul di mabes, ada job besar nih”, Niko yang menjawab.

“Kami kasi tau yang lain dulu, oh ya, bawa senjata”, Parman berkata sambil ngeloyor pergi bersama Niko.

Aku segera mandi lalu berpakaian, kemudian bergegas ke mabes sambil menenteng samurai sepanjang 75 cm milikku. Ranselku juga sudah dimuat beberapa persiapan perang lainnya.

Sampai di markas besar IPK cabang Medan Timur, keadaan sudah ramai. Aku mencari Gea Saragih, mencoba mengumpulkan info tentang job apa yang bakalan digarap. Tapi Gea sendiri pun belum tahu.

“Tunggu Ketua saja”, kata Gea singkat.

Tak lama sebuah Jeep CJ7 loreng biru masuk pelataran mabes. Kami bersiap. Ketua kami, Jack Latumahina alias Jeki Ompong, masuk mabes lalu kami iringi. Minuman kemudian diedarkan oleh beberapa cewek bahenol. Suasana agak gaduh sebelum tiba-tiba Jeki Ompong memukul meja sekeras-kerasnya. Suasana sontak menjadi hening. Aku yang sudah terbiasa dengan kejadian itu, santai saja menyeruput kopi panas yang tadi dihantarkan.

“Kita ada job besar, tapi jauh, di kabupaten Tapung, Riau. Tugas kita mengamankan lahan sawit masyarakat yang dicaplok Kelompok Tani Tapung Berjaya. Kita berangkat malam ini juga. Ingat, jangan ada yang membunuh atau terbunuh. Jaga keselamatan diri dan keselamatan kawan. Nanti untuk yang bertugas mengeksekusi lawan sudah ada dipersiapkan oleh panitia setempat, dua algojo dari Jawa. Tugas kita hanya sebatas membeking. Tapi kalau nyawa kalian benar-benar terancam, lakukan kosong tiga belas, lalu cepat CC. Semua perbekalan sudah disiapkan. Masalah strategi nanti kita atur dilapangan”, Jeki Ompong menjelaskan semuanya. Kosong tiga belas adalah habisi lawan, sedangkan CC adalah melarikan diri.

Kami lalu berbaris naik ke empat buah bus PO.Garuda yang sudah dipersiapkan. Jumlah kami ada sekitar 200 orang, mungkin lebih. Semua senjata dikumpulkan, lalu dipacking dengan rapi.

Jam enam pagi bus kami sampai di Tapung. Aku memilih tetap tidur karena masih mengantuk dan pengaruh minuman tuak yang tadi kami tenggak bersama di bus, masih belum hilang. Aku tahu, tak seorang pun berani membangunkan aku kalau sedang tidur, kecuali dalam keadaan genting. Meskipun jabatanku di organisasi cuma Waka 2, aku punya catatan ‘prestasi’ yang bikin sebagian besar anggota lainnya sangat menyeganiku. Ketua sendiri pun segan padaku, karenanya, ia tak pernah memerintahku secara langsung, pasti selalu melalui orang lain, meskipun kami berhadapan.

Jam delapan pagi barulah aku bangun, cuci muka lalu makan nasi uduk berlauk ayam panggang yang memang sudah disediakan masyarakat setempat. Kulihat kawan-kawanku sudah mengikuti briefing dan juklak. Aku cuek saja, santai menghabiskan makananku. Tuak dan ganja tadi malam membuat perutku lapar sekali. Habis dua porsi nasi uduk, barulah perutku tenang. Setelah itu aku minum kopi lampung yang nikmat sekali.

Kemudian aku bukannya ikut rapat lapangan, malah aku mengambil samuraiku dari bundelan packing, lalu mengasahnya perlahan dengan batu khusus. Aku ingat sebuah pepetah perang kuno : disaat musuh sudah dihadapanmu, engkau akan mengharap pedangmu adalah sangat tajam.

Setelah merasa cukup, aku memasang beberapa perlengkapan tempur lainnya, termasuk mengikatkan delapan pisau lempar yang berjejer di depan perutku. Jarang sekali ada lawan tanding yang bisa selamat dari lemparan akurat pisauku, karena setiap hari aku berlatih paling tidak selama satu jam agar makin piawai menggunakan senjata maut ini.

Jam sembilan kami bergerak berjalan kaki menuju lapangan tempur. Selain kami, masyarakat setempat yang tanah pertaniannya dijarah oleh pendatang juga ikut turun. Jumlah mereka sekitar tiga ratus pasukan. Senjata mereka juga beragam, tapi yang terbanyak adalah parang biding, sejenis parang panjang lurus tipis yang sangat tajam. Hanya saja aku tahu, parang itu sulit digunakan sebagai senjata, karena terlalu lentur dan aerodinamikanya yang sangat lemah. Titik sentri-nya juga tak jelas, mengakibatkan senjata itu memang hanya cocok untuk menebas rumput yang diam tak bergerak, bukan untuk menghadapi lawan manusia yang siap melawan dan menghindar. Tapi itu semua bukan urusanku. Bisnisku saat ini adalah ikut perang, pulang, lalu dapat uang.

Hampir dua jam kami bergerak menelusuri jalan tanah yang becek dan bersemak belukar. Rupanya tanah pertanian di sini masih bukaan baru, belum ada satupun pohon sawit yang sudah tinggi. Sebagian besar masih belajar berbuah. Air parit bekas beko-an berwarna coklat terang, seperti air teh, sementara bunyi kecipak ikan banyak terdengar.

Lalu dikejauhan tampaklah dua unit beko sedang bekerja. Dari cerita Sodong Sirait dan Udin Tengkorak, dua anggota yang terhitung anak buahku di Tim Siluman, beko itu disewa oleh penjarah untuk membuat parit yang juga membagi-bagi tanah masyarakat sesuai kehendak hati para penjarahnya. Mereka masuk enam hari yang lalu, dengan kekuatan pendukung sekira tiga ratus personel. Beberapa oknum petugas jajaran sipil bersenjata juga kadang terlihat mengawasi kegiatan mereka. Terhadap petugas ini kami tak khawatir, karena pihak masyarakat juga sudah menyewa beberapa oknum yang berbaret hitam. Bukan hanya uang, kepada mereka juga dijanjikan masing-masing dua hektar lahan gratis. Harapan masyarakat adalah, bila ada tanah milik oknum T** disekitar tanah mereka, maka kejadian serupa tak akan terulang. Luas lahan yang akan dibebaskan sendiri adalah sekira empat kilometer persegi, milik dua ratus kepala keluarga penggarap asli.

Suasana langsung tegang. Mediasi bukanlah pilihan lagi, karena hal itu sudah tiga kali diusahakan, namun ditolak mentah-mentah oleh para penjarah yang merasa di atas angin.

Aku segera merapat ke arah Gatot Sunyoto, algojo dari Jawa sewaan khusus itu. Tugasku adalah mengawalnya jangan sampai terluka sedikitpun. Sebuah tugas yang sungguh tidak mudah. tapi aku tak sendiri. Aku memilih Sodong Sirait, Udin Tengkorak dan Gea Saragih untuk membantuku. Tiga orang kepercayaanku ini sudah lulus uji. Bahkan sebagian ilmu ajian sakti milikku sudah kuturunkan kepada mereka bertiga.

Kau tahu, tugas mengawal itu sepuluh kali lebih sulit daripada tugas melumpuhkan lawan. Tapi tampaknya Gatot Sunyoto juga bukan sembarang orang. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya putih kekuningan, wajahnya tampan berjambang gagah, usianya sekira tiga puluh tahunan. Aku menaksir, kemampuannya hanya sedikit dibawah aku. Bila kami bertarung, maka dipastikan akan menjadi sebuah pertempuran yang dahsyat. Untung juga ia ada di pihak yang sama.

Algojo sewaan satunya lagi adalah Bandot Ireng, tubuhnya gempal pendek, hitam legam, kelimis, dan sinar matanya mencorong tajam. Andi Harahap, Bulian Bugis dan Jakfar Koto bertugas mengawalnya. Kedua algojo sewaan itu bersenjata sama, yaitu sebilah golok di tangan kanan, dan sepucuk trisula di tangan kiri. Ada isu mereka berdua adalah jebolan dari sebuah pesantren tradisional di bilangan Jawa Tengah.

Perang pun tak terhindarkan, berbagai jenis senjata logam beradu, jerit tangis membelah angkasa. Aku sendiri tetap siaga mengawal Gatot Sunyoto. Banyak personil pihak penjarah yang ciut nyali memilih melarikan diri, dan itu memang harus dibiarkan. Yang lari jangan dikejar, yang melawan harus dilumpuhkan!

Tiba-tiba tiga orang lelaki berbadan tegap datang meluruk ke arah kami. Tombak, dan dua bilah pedang cepat menghujam, mengarah ke bagian mematikan di tubuhku dan Gatot. Cepat kuayunkan samurai, sementara lapik baja dilenganku menangkis ayunan pedang satunya. Tang... traak..crasshh... lengan penyerang itu terbelah panjang dari telapak tangan sampai ke sikunya. Darah muncrat memerahkan peladangan yang tengah dipanggang terik matahari itu. Ia limbung sesaat lalu tiba-tiba melarikan diri seperti setan kesiangan.Gatot Sunyoto sendiri tak berbuat ayal, trisulanya bergerak menjepit tombak penyerang, lalu goloknya kejam menebas perut lelaki sial itu. Lelaki itu melenguh pendek, kejang, lalu ambruk untuk selamanya. Aku terkesiap, tapi cepat menguasai diri. Pemandangan seperti ini adalah makananku hari-hari.

Seratus meter sebelah kiri, kelompok kami juga sudah menguasai dua unit beko tadi. Operatornya diikat ke cangkol beko, lalu dinaikkan tinggi-tinggi. Tak sedikitpun ada perlawanan, hanya rintihan permohonan ampun dalam bahasa Jawa yang keluar dari mulutnya. Beko kemudian dirusak, semua kabel dan batrenya dibacok. Sebagian berniat membakarnya, tapi dilarang oleh pimpinan kelompok.

Empat oknum po**** pengawal pihak penjarah tak dapat berbuat banyak dihadapan enam moncong SS1 oknum T** yang kami bawa. Mereka cuma berteriak “sudah pak....’ sudah pak... jangan membunuh....

Tapi pertempuran hidup mati itu masih terus saja berlangsung. Kali ini giliran Bandot Ireng berbakti. Sebuah kepala rengkah nyaris terbelah oleh goloknya. Pihak lawan yang menyaksikan langsung hilang nyali, lalu kucar-kacir lari menyelamatkan diri.

Aku masih mengikuti Gatot Sunyoto, menjaganya tetap utuh. Ia harus tetap hidup, karena ia dan Bandot Irenglah yang akan dijadikan kambing hitam peristiwa gila ini. Tetapi semua sudah dipersiapkan dengan baik oleh panitia perang.

Serdadu pihak lawan makin sedikit, kurang dari seratus orang saja lagi yang masih bertahan. Tiba-tiba aku melihat sesosok penyerang yang aku kenal. Dia adalah Aris Zalukhu, seorang pentolan PP yang dulu pernah kupijak lehernya di terminal Sambu. Darahku mendidih begitu melihatnya.

“Lindungi Gatot!”, seruku pada ketiga anak buahku.

Aku segera mengejar Aris Zalukhu untuk menyelesaikan masalah lama kami. Aku tahu Aris ini pernah membunuh salah satu kawan kami, lalu ia hilang lenyap bagai di telan bumi. Aris yang melihat kehadiranku seperti tergugu. Tapi tak urung kampak siam miliknya dilintangkan di depan dada. Aku mengertakkan geraham, trisulaku meluncur memancing Aris beraksi, namun ia cukup pandai. Ia cuma mundur selangkah menghindar, sementara kapak siamnya tetap siaga menunggu tebasan pedang samuraiku.

Melihat ini aku mengamuk dahsyat, beberapa kali senjata kami beradu, tanganku bergetar hebat setiap hal itu terjadi. Aku kemudian memutuskan membuang trisulaku, lalu bersiap melemparkan senjata rahasia. namun sebelum itu terjadi, tiba-tiba...ekh...ugh..ugh....
Aris Zalukhu jatuh berdebam tepat di depanku, sebilah trisula milik Gatot menancap tepat di dada kirinya, menembus jantung.

“Modar kowe...!!!’ teriak Gatot garang membahana seraya masih mengayunkan goloknya ke arah kepala Aris. Samuraiku bergerak menangkis ayunan golok itu, traang......

Mata Gatot terbeliak lebar, mukanya merah padam. Jelas sekali ia marah dan tak mengerti dengan tindakanku.
”Biar saja, sebentar lagi juga dia mati”, kataku pelan pada Gatot. Gatot mendekati Aris yang sekarat, lalu ia mencabut trisulanya yang menghujam dada orang yang sedang sekarat itu.

Bumi basah bau anyir, diiringi mega petang yang jingga kekuningan.

Berakhirlah pertempuran sehari itu, dua puluh tujuh anggota kami terluka, dan segera dirawat oleh paramedis yang sudah dipersiapkan panitia perang. Sementara korban di pihak lawan sudah dibawa pergi kambrat-kambratnya. Bagi kami, bekas luka dalam peperangan seperti ini nantinya akan menjadi kebanggaan, dan meningkatkan perbawa pemiliknya, sebagai tanda pernah bertempur hebat.

Gatot Sunyoto dan Bandot Ireng diupah masing-masing lima juta rupiah, sebuah nilai yang lumayan besar waktu itu, lalu mereka segera pulang ke Jawa malam itu juga.

Sebagai tanda persahabatan, Gatot memberiku sebuah cupu manik dari bahan tembaga, katanya pusaka pemberian gurunya. Sementara itu aku menghadiahinya sepasang taring harimau, yang berguna untuk menambah perbawa pemakainya. Dulu kudapatkan setelah tapa barata di sebuah delta sungai yang angker bergemuruh. Gatot juga memintaku agar ikut dengannya ke Jawa, agar ia perkenalkan dengan guru spiritualnya, tapi secara halus aku menolak. Ia pun pulang ke Jawa Tengah dengan menumpang bus CV.Handoyo.

Demikianlah kisah nyata ini kutuliskan, sebagai kenang-kenangan sejarah liar masa mudaku. Hanya satu kupesankan padamu, jangan sekali-kali menapak tilas perjalanan hidupku. Cukuplah aku saja yang merasakan kepahitannya. Hidup di bawah bayang-bayang rintihan memelas orang yang pernah kusakiti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun