Mei 1993, pukul 9 pagi.
Aku dan Kadir tengah asyik bercengkerama dengan Pak Nawawi, guru spiritual kami khusus bidang pengobatan alternatif. Tiba-tiba seseorang mengucapkan salam lalu langsung memeluk Pak Nawi sambil memohon agar Pak Nawi mau mengobati ayahnya yang sedang gering karena dipatuk ular laut.
Pak Nawi menyanggupi untuk mencoba menolong. Ia juga mengajak kami serta. Aku tentu senang karena akan melihat guru kami beraksi.
Kami bersiap, lalu dengan naik sepeda motor Yamaha L2 aku membonceng Kadir, sementara Pak Nawi dibonceng orang tadi dengan sepeda motor Suzuki Family tahun 1984. Ternyata jarak tempuh kami cukup jauh, lebih dari satu setengah jam perjalanan.
Sesampai di rumah pasien, kami melangkah naik, karena rumahnya rumah panggung. Ternyata di dalam rumah sudah berjejer tiga orang pawang laut yang juga dimintai bantuan. Kami pun menyalami mereka, seraya minta ijin ikut membantu. Mereka mempersilahkan, dan mengatakan mereka sudah angkat tangan, karena pasien sudah meninggal. Aku terkejut. Wah, sudah meninggal.....
Pak Nawi memeriksa nadi, lalu mencabut sehelai dua helai rambut pasien itu, dan menelitinya dengan cermat.
“Wah, masih ada...”, desisnya perlahan. Maksudnya, si pasien belumlah mati.
Pak Nawi lalu melakukan pengobatan terhadap pasien itu. Adapun ritual pengobatan ini tidak dapat saya tuliskan, karena belum ada izin dari Pak Nawi sendiri. Singkat cerita, pasien pun tertolong, berkat rahmat Allah tuhan seru sekalian alam.
Namun di luar dugaan, reaksi negatif ditunjukkan oleh ketiga bomo lain yang dari tadi ikut memperhatikan jalannya pengobatan. Mereka serta merta menuduh Pak Nawi telah melakukan sihir. Menghidupkan orang yang sudah mati.
Pak Nawi tidak menanggapi reaksi negatif itu, ia hanya berpesan kepada keluarga agar memberi minum air gula kepada pasien yang kini sudah sadar penuh. Keluarga pasien juga tak memperdulikan celoteh naif ketiga bomo kelas teri tadi. Mereka bersitangisan mengucapkan terima kasih kepada Pak Nawi.
Sebuah amplop kemudian diserahkan ketangan Pak Nawi. Beliau menerimanya, lalu berterima kasih. Lima detik kemudian, beliau menyedekahkan amplop itu kepada istri pasien. Ibu tua itu bersikeras menolak, tapi Pak Nawi juga bersikukuh.
“Tadi saya sudah menerima pemberian ibu, sekarang mengapa ibu menolak pemberian saya?”, kata Pak Nawi kepada ibu itu. Akhirnya ibu itu tak bisa menolak lagi kebaikan hati Pak Nawi.
Keluarga itu memang pantas ditolong, mengingat mereka bukanlah orang kaya, dan telah pula habis banyak biaya untuk mengobati sakit sang pasien yang merupakan tulang punggung keluarga.
Kami pun beranjak pulang. Isak tangis terima kasih masih mengiringi. Dua pihak yang penuh keikhlasan.
Sesampai di padepokan, aku bertanya pada Pak Nawi.
“Pak, bagaimana bapak bisa tahu orang itu belum mati?’.
“Orang yang sudah mati, kalau rambutnya dicabut, maka lemak di pangkal rambutnya, yang berwarna putih itu, tidak ikut tercabut. Tadi bapak cabut, lemaknya masih terikut, berarti dia belum mati. Masih ada nyawanya, hanya saja, nyawanya itu tinggal sedikit lagi yang bertahan di jasadnya. Kalau saja kita tadi terlambat setengah jam saja, mungkin orang itu sudah meninggal dunia sekarang”.
Itulah keterangan Pak Nawi. Sebagai murid, aku tak berhak menyelisihi, apalagi membantah wejangan beliau. Meskipun dalam hatiku, masih bergumul makna dan tafsir tentang takdir, kehendak Allah, qadla dan qadar; berbanding dengan penjelasan guruku tadi.
Namun aku tahu, bahwa memang orang tadi belum mati. Kalau orang mati dihidupkan kembali, namanya zombie. Ciri-ciri zombie adalah sinar matanya kosong, jarang bicara, kalau bicara suaranya berat dan cadel atau celat. Gerakan tubuh zombie juga kaku, mirip gerakan robot. Sedangkan pasien tadi, setelah sadar, sinar matanya normal dan bicaranya lancar, gerakan tubuhnya juga luwes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H