Gue yakin orang waras akan sepakat! Semua tahu mafia peradilanmusuh utama penegakan hukum dimanapraktikmafia peradilan tersebutmembuat kondisi dunia peradilan di Indonesia semakin memprihatinkan dan ironis. Masih teringat di dalam benak kita semua Komisi Yudisial sendiri pernah mengakui ada sejumlah hakim yang menjadi bagian darimafia peradilan. Mereka memainkan pada teknis yudisial, seperti mengubah pertimbangan hukum tidak sesuai fakta," kata Ketua KY Busyro Muqodas usai bertemu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, di kantor komisi, Selasa (1/12/09). Ironis Bukan!!!
[caption id="attachment_305401" align="aligncenter" width="600" caption="MAFIA PERADILAN"][/caption]
Oleh karena itu, jika Gue meminjam pemikiran ICW (Indonesia Coruption Watch), MENGAPA PERADILAN PERLU DIAWASI? Korupsi di lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) adalah realitas sosial yang sangat sulit dibuktikan melalui prosedur hukum pidana. Bukan saja karena praktik korupsi itu dilakukan oleh orang-orang yang menguasai seluk beluk peradilan, tetapi juga karena praktik korupsi tersebut terjadi di lembaga peradilan itu sendiri Praktik korupsi ini menjadi semakin tak terkontrol ketika pengawasan yang ada di setiap lembaga (internal control ) tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan external control yang dilakukan oleh masyarakat selama ini belum berjalan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena bagi masyarakat awam, menjalankan fungsi control terhadap lembaga peradilan bukanlah hal mudah, terutama dalam melakukan penilaian atas putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan.
Mafia Peradilan
Gue pikir-pikir, meski praktik peradilan sesat di Indonesia bukanlah “barang” baru di Indonesia. Hal ini kerap kali terjadi di dalam dunia peradilan di negara yang mengaku sebagai negara hukum (rechtstaat). Banyak orang yang menjadi korban hak dihancurkan akibat permainan mafia hukum, seperti hal terjadi, dalam perkara 320 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dan ternyata kasus diatas tersebut tidak juga berhenti alias kapok tobat, sebagaimana berapa waktu lalu mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pengacara dan klien Nya tersebut tak hadir, dan pihak sangat dirugikan sekali sikap Mediator Longser Sormin malahan mengarahkan sesuatu yang tidak fair hal itu bertentangan sekali dengan materi kesepakatan perdamaian tidak boleh bertentangan dengan hukum, harus dapat dilaksanakan dan tidak boleh memuat i'tikad yang tidak baik (pasal 17) dan kemudian tidak maksimal untuk memanggil pihak lawan tersebut sebagaimana sudah disepakati sebelumnya, karena jelas jelas pihak lawan tersebut telah menguasai keseluruhan harta tersebut. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 01 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan ini ditetapkan pada tanggal 31 Juli 2008 dan berlaku sejak tanggal ditetapkannya. PERMA ini merupakan revisi sekaligus pengganti dari PERMA No 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
Dagelan lagi ketika pihak pengacara lawan dan tim kuasa hukum dari Kantor Hukum AS & Rekan bertemu diruang ketua majelis hakim, menanyakan maksud apa ketua majelis hakim Amril, SH., M.Hum (sekarang mantan Ketua PN Jakarta Barat) mengatakan bahwa dalam persidangan berikut jika dari kantor AS & Rekan tidak hadir maka itu otomatis gugur dan jelas jelas keberpihakan nyata sekali, tidak sesuai dengan wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Akan tetapi ketika pihak lawan pengacara Manuarang Manalu, SH merupakan kawan tim pengacara Taripar Simanjuntak, SH (merupakan staf hukum dari kantor Rudy Lontoh & Partners) tidak datang dua kali hadir saat itu ketua majelis hakim Amril, SH, MH sudah sepantasnya menegur keras kepada pihak lawan karena mereka sudah dua kali tidak hadir.
Demikian sebaliknya ketika pengacara Manuarang Manalu SH dan klien Nya itu sengaja tidak hadir dalam proses mediasi dibiarkan begitu saja, dibiarkan saja secara sistematis seperti sudah diatur. Dalam agenda sidang, serta merta ada penggantian kuasa hukum (pengacara) bernama Manuarang Manalu, SH merupakan rekan tim hukum saudara Taripar Simanjuntak merupakan satu atap sebagai staf hukum dari kantor Rudy Lontoh & Partners, SH diganti dengan kuasa hukum bernama Mangapul Sitorus, SH dan mereka bertiga tersebut juga tidak lain merupakan satu atap sebagai staf hukum dan pengacara bermitra kepada kantor hukum Rudy Lontoh & Partners, demikian juga pada saat yang bersamaan ada juga penetapan penggantian Ketua Majelis Hakim dan angota anggotanya, Anggota Majelis yang baru susunan anggota adalah Sigit Hariyanto, SH. MH dan Julien Mamahit, SH serta Ketua Majelis Harijanto, SH, MH, yang sebelumnya dengan susunan majelis hakim Amril, SH., M.Hum, Harijanto, SH, MH, Sigit Hariyanto, SH. MH.
Agenda itu seharus dibacakan putusan sela, putusan sela tertunda dan disengaja ditunda tunda terus oleh majelis hakim baru tersebut, sampai dicakan setelah usai semuai pemeriksaan pokok perkara, apakah ada? Jauh panggang dari api, seharus ini profesi hakim itu memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.
Coba lu bayangkan! Anehnya selama persidangan para hakim tersebut protektif banget, saking protektifnya sehingga salah seorang anggota Hakim di PN Jakarta Barat, Sigit Hariyanto, SH, MH, tertangkap tangan sedang memimpin sidang sambil menggunakan handycam, kemudian sidang tersebut ditutup tanpa ada agenda jadwal berikutnya, dan belum lagi manipulasi manipulasi persidangan yang tidak dimasukkan didalam putusan tersebut, belum diungkapkan. Aneh !
[caption id="attachment_301172" align="aligncenter" width="599" caption="MAFIA PERADILAN"]
[caption id="attachment_305406" align="aligncenter" width="312" caption="MAFIA PERADILAN"]
[caption id="attachment_305407" align="aligncenter" width="426" caption="MAFIA PERADILAN"]
Gue juga sebagai orang sarjana hukum ngerti hukum, gak masuk akal jika hak bagian mutlak ahli waris bisa dihilangkan begitu saja oleh majelis hakim di dalam pertimbangan hukumnya, padahal hak bagian mutlak jelas-jelas tegas sudah diatur dalam pasal-pasal didalam hukum waris. Tolong itu KPK atau Komisi Yudisial dinvestigasi majelis hakimnya? Patut dicurigai itu adalah permainan persekongkolan.
Menurut Gue sudah sangat jelas, dalam Pasal 913 Burgerlijke Wetboek (BW) “Bagian mutlak atau legitime portie, adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.”
[caption id="attachment_305411" align="aligncenter" width="465" caption="HUKUM WARIS "]
Bagian mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan Undang-Undang kepada ahli waris dalam garis lurus ke bawah dan ke atas. Dan sebagaimana telah disebutkan dari ketentuan diatas, bahwa bagian mutlak tidak boleh ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik secara hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling.
Pertimbangan Hukum Tidak Sesuai Fakta
Gue melihat keanehan / kejanggalan saat persidangan, lihat aja bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja tidak dan/ atau belum memeriksa secara seksama secara keliru dalam pertimbangan putusan, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat jugatidak jujur dimana saksi-saksi dibawah sumpah yang dihadirkan dimuka persidangan banyak dipotong keterangannnya sehingga menjadi suatu keterangan tidak utuh menimbulkan makna sangat berbeda
Bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja tidak cermat dalam pertimbangan putusannya, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak arif dan bijaksana.
Bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja keliru, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga tidak arif dan bijaksana,, dimana pada tanggal 6 November 2013 sidang perkara perdata nomor 320 di gelar dengan materi sidang agenda saksi fakta bernama Siti Marica (bekerja sebagai karyawan di kantor notaris) ditolak oleh majelis hakim dan majelis hakim tersebut dengan angkuh dan tidak arif bijaksana menolak dengan alasan pasal 145, 146, 147 HIR.
Bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja keliru dalam pertimbangan putusan pada halaman Hal 55 dari 100 hal Putusan no. 320/ Pdt.G/ 2013/ PN.JKT.BAR, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga tidak arif dan bijaksana memahami pasal 1320 KUH Perdata tersebut. Bahwa pemahaman terhadap pasal tersebut tidak bisa ditafsirkan secara artifisial karena ada penjelasan lanjut menegaskan tentang kesepakatan dimaksud di dalam pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau kontrak juga harus memenuhi empat syarat 1. Sepakat bagi mereka mengikatkan diri. Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya dan kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan. Pasal 1329 KUH Perdata, menyatakan bahwa setiap orang cakap untuk membuat suatu perjanjian, kecuali apabila menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap. 3. Suatu hal tertentu, Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. J.Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikti dapat ditentukan jenisnya 4. Suatu sebab (causa) yang halal. Menurut pasal 1335 jo 1337 KUH Perdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika pertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum..
Bahwa Akta Persetujuan Dan Kuasa No. 09 Tertanggal 8 April 2011 dibuat dihadapan Nyonya Soehardjo hadie Widyokusumo, SH., Notaris di Jakarta tersebut halaman 2 dan 6 sebagai berikut : Untuk mewakili para penghadap, sesuai Akta pernyataan kesepakatan Bersama, yang telah ditandatangani pada hari ini, Nomor : 6 dibuat dihadapan Notaris, untuk :
-Melaksanakan proses balik nama kepada penerima kuasa; untuk menjual, memindahkan mengoperkan dan/ atau menghibahkan kepada siapapun/ Pihak lain dengan harga yang dipandang pantas dan baik oleh penerima kuasa, atas;
-Untuk keperluan tersebut penerima kuasa dikuasakan untuk menghadap Notaris/ Pejabat pembuat akta Tanah setempat, memberi keterangan-keterangan, membuat, meminta dibuatkan, mendatangani surat/ akta, umumnya menjalankan segala tindakan hokum yang perlu dan berguna untuk tercapainya maksud tersebut tidak ada tindakan yang dikecualikan ;
Bahwa secara moral hukum, Akta Persetujuan Dan Kuasa No. 09 Tertanggal 8 April 2011 tersebut pada prinsipnya untuk melindungi dan menjaga kelangsungan hidup Almarhumah Soeprapti saat itu sakit parah komplikasi sehingga urusan-urusan lain berkaitan dengan keuangan diserahkan kepada kakaknya kemudian dikuasai semuanya.
Dimana kondisi kesehatan Almarhumah Soeprapti saat itu semakin memburuk tak berdaya, sebagaimana hal itu juga telah dibuktikan dengan jelas-jelas di dalam surat berkas gugatan pada tahun 2008 bernomor 113/L&P-SU/VIII/08 yang diajukannya kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dibawah Daftar No : 874/ Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel, Tanggal 23 Juli 2008. Dimana dalam surat gugatan tersebut di tahun 2008, Kuasa Hukum TERGUGAT menyatakan secara tegas dan jelas terang benderang di halaman 11 (sebelas) poin 16, sebagai berikut : “….untuk memenuhi KEBUTUHAN DANA YANG SANGAT MENDESAK BAGI ALMARHUMAH SOEPRAPTI YAITU UNTUK MELAKUKAN PENGOBATAN ATAS PENYAKITNYA YANG DIDERITANYA, YAITU SAKIT JANTUNG, GANGGUGAN FAAL DAN SAKIT SUSUNAN SYARAF PUSAT SEHINGGA SAMPAI SEKARANG ALMARHUMAH SOEPRAPTI HARUS DUDUK DIKURSI RODA SERTA MENGGUNAKAN ALAT BANTU GUNA MENOPANG FUNGSI GINJALNYA…..”
Yang tidak dapat diterima akal sehat bahwa kenyataan setelah orang tua meninggal dunia dimana kakaknya bernama Soerjani sebagai penerima kuasa bersifat mutlak kuasanya kerena tidak dapat dicabut kembali oleh Pemberi Kuasanya, bahkan bila si Pemberi Kuasa meninggal sekalipun. Dimana kemudian kakaknya bernama Soerjani jelas-jelas secara nyata menyalahgunakan kepentingan kuasa tersebut dengan menghilangkan hak bagian mutlak adiknya sebagai ahli waris lain sah dari Almarhurmah Soeprapti. Bagian mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan Undang-Undang kepada ahli waris dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, dimana bagian mutlak tersebut tidak boleh ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik secara hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling.
Lagipula, tidaklah logis juga, Akta Persetujuan Dan Kuasa No. 09 Tertanggal 8 April 2011 nyata-nyata dilakukan oleh kakaknya untuk membuka peluang terjadinya kecurangan perdata, dan tentunya hal tersebut juga tidak diperbolehkan oleh hukum terlebih kesepakatan dan persetujuan yang timbul dengan itikad tidak baik dan menghilangkan jaminan kepastian serta perlindungan terhadap hak bagian mutlak dari ahli waris sah lainnya.
Bahwasanya Undang-undang menentukan bahwa perbuatan hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Undang-undang adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat.
Adapun dasar hukum surat kuasa di Indonesia adalah Pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengaturan mengenai surat kuasa mutlak dan dampak sebuahsuratkuasa mutlak tersebut adalah pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasanya dari penerima kuasa. Biasanya sebuahsuratkuasa akan dianggap sebagaisuratkuasa mutlak dengan dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengabaikan (waive) Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata mengenai cara berakhirnya pemberian kuasa. Menurut kedua pasal itu, kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa dari penerima kuasa, pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa, meninggal, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa, dan penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.Dengan pencantuman klausula yang mengabaikan kedua pasal itu, maka pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi menarik kembali kuasanya tanpa kesepakatan pihak penerima kuasa. Dasar pemikiran yang mendukung pengabaian Pasal 1813 jo Pasal 1814 a quo adalah karena hukum perdata memiliki prinsip sebagai hukum pelengkap atauaanvullen recht.Selain itu tentu saja prinsip inti dari semua perjanjian, yaitupact sunt servanda, asas konsensualisme, dan asas kebebasan berkontrak.
Bunyi Pasal 1972 KUHPer (Engelbrecht2006) adalah sebagai berikut:Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Berdasarkan ketentuan itu, maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa adalah adanya persetujuan, yang berisi pemberian kekuasaan atau kepada orang lain dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur-unsur itu, maka dapat disimpulkan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa terjadi hubungan seperti layaknya atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa-pun juga mutlak berasal dari dirinya. Mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaan yang merupakan milik orang lain.
Karena kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka dirinya juga memiliki kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa. Memang masih dimungkinkan pemberi kuasa memperjanjikan untuk tidak menarik kembali kuasa yang telah diberikan. Namun tetap saja praktek semacam ini kedengarannya sangat janggal, karena ada sebuah kekuasaan yang berasal dari pemberi kuasa namun dia tidak diperbolehkan untuk menarik kembali kekuasan tersebut.
Lebih lanjut, pencantuman persetujuan dari pemberi kuasa untuk mengabaikan Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata menurut penulis adalah praktek yang sangat aneh bin ajaib. Memang benar sebagai hukum pelengkap, maka ada beberapa pasal dalam KUHPer yang dapat diabaikan. Namun penyimpangan itu hanya berlaku untuk pasal-pasal tentang perjanjian dalam buku III KUHPerdata, itupun tidak semua pasal boleh diabaikan begitu saja. Sedangkan ketentuan pemberian kuasa diletakkan pada Buku IV, sehingga walau ada sifat persetujuan dalam pemberian kuasa. Akan tetapi persetujuan tersebut bukanlah persetujuan bersifat dua arah dan bertimbal balik seperti perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.
Lagipula, tidaklah logis apabila Pasal 1813 KUHPer diabaikan, selain karena sifat dan kekuatan hukum dari pasal tersebut yang memang tidak boleh diabaikan, ketentuan pasal tersebut juga tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja, apalagi oleh perjanjian saja, kecuali bila revisi tersebut dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang baru.Sesuai dengan Pasal 1813 KUHPer, maka salah satu mekanisme berakhirnya surat kuasa adalah manakala pemberi kuasa meninggal, dalam pengampuan ataupun pailitnya salah satu pihak, dilihat dari segi apapun, maka syarat berakhirnya kuasa dari pasal a quo sangat logis. Yang tidak dapat diterima akal sehat adalah para pihak yang mengabaikan bunyi pasal tersebut. Karena dengan demikian mereka mengatakan bahwa walaupun salah satu pihak meninggal atau pailit, maka hubungan kuasa tersebut tetap dapat berjalan.
Analisa hukum paling sederhanapun akan mengatakan bahwa mengingat kekuasaan berasal dari pihak pemberi kuasa, dengan meninggalnya pemberi kuasa, maka kekuasaan yang telah diberikan kepada orang lain yang berasal dari dirinyapun akan hilang dengan sendirinya
Bahwa kakaknya bernama Soerjani sebagai penerima kuasa bersifat mutlak juga terlarang karena Surat Kuasa Mutlak (irrevocable power of attorney) pada saat ini tidak diperbolehkan lagi yaitu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Maret 1982 nomor 14/1982 jo Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 14 April 1988 nomor 2584. Pembuatan kuasa mutlak ini sebelumnya banyak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, suratkuasa mutlak tersebut tidak dapat dan tidak boleh dipraktekan karena tidak sejalan dengan undang-undang yang berlaku.
Akhir dari tulisan Gue ini, Gue ingin mengatakan jika itu dibiarkan maka kacau Negara Hukum ini, orang seenak-enaknya saja mempermainkan hukum. Tangkap Hakim itu jika terbukti merupakan bagian mafia peradilan dan tangkap Pengacara itu jika terbukti merupakan bagian mafia peradilan, serta tangkap Notaris itu jika terbukti merupakan bagian dari mafia Peradilan! Fiat Justitia Ruat Coelum,TegakkanKeadilanwalau langit runtuh sekalipun. TERIMA KASIH !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H