Namaku Paditoro. Aku terlahir dari gabungan cinta buta. Letupan meriam, mortir dan senapan berhamburan tak karuan di kolong langit dikepul asap, mendendangkan kelahiranku. Dentuman bising itu, yang mempercepat kelahiranku. Bale kecil yang rapuh terbuat dari anyaman bambu tua, disitu untuk pertama aku menyentuhnya. Siulan burung emprit yang tak menentu, mengiringi kelahiranku. Kambing dan kerbau adalah tetangga dekat rumah yang melihatku. Sementara kocoran airdiantara parit, membasahi badanku yang  hijau, kecil dan tak bertulang.
Aku lahir tak mengenal bapak. Hanya seorang Pertiwiyang tersenyum melihat aku. Aku kecil tak mengerti apa-apa. Pertiwiadalah sebutan laki-laki tulen dari suatu kampung di Blitar. Tetapi, aku tak yakin jika dia yang telah melahirkanku. Tetapi, burung emprit lahir dihadapan ibunya, kambing dan kerbau pun demikian. Jika seorang Pertiwiyang ada dihadapan kelahiranku, maka aku sebut dia sebagai Ibu.
Aku beruntung memiliki seorang Ibu yang cantik, baik, dan penyabar. Tidak jarang para laki-laki di kampungku terpesona padanya. Ingin memiliki sampai menindihnya. Ibuku juga penyubur. Pantas saja, dia terkenal hingga luar planet pencipta mesin dan robot. Andai saja ibuku menetap di desa Trunyan, Bali, tentu aku memiliki banyak saudara. Sebab, di Trunyan seorang wanita sebelum disunting menjadi isteri harus di "robek" dulu bunganya. Sebagai jaminan kesuburan. Adat dikampungku tentu berbeda. Atau, jika ibuku menginginkan harta yang melimpah, dengan ringan sambil menundukan kepala dan berucap "ya", akan dimilikinya. Mereka dari planet lain sudah lama mengincar seraya merayu akan menghias dengan kemegahan. Ibuku menolak. Berkat bisikan semangat para Tani dan Nelayan berkopiah hitam lusuh.
Menurut kisah sang kakek yang terukir dibalik sampul buku itu. Sebelum dikenal sebagai Pertiwi, Hindaniaadalah panggilan ibuku. Setelah ditinggal kawin oleh Budastadan Hindata. Hindaniamenjanda dan diperisteri oleh laki-laki berkulit Wol. Aku lebih gemar menyebutnya Wolli, namun muak melihatnya jika kembali. Hindaniabermagnet, keberadaanya terlacak oleh alat penunjuk arah. Harum tubuhnya, seperti kasturi. Warna kulitnya, seperti santan kelapa tua yang dipetik gerombolan beruk dan langkah demi langkahnya menyapu pandangan orang-orang, memanas menjadi darah reftil. Wolliberlayar dari planet yang menggigil. Mencapai kepuasan, menginginkan kehangatan serta menyebarkan harmoni adalah tujuan utama berlabuh dihati Hindania.
Wollimenjadi saudagar sukses. Hasil cairandalam perut Hindaniayang tiada henti terus dihisap. Cairan itu dibawanya terbang melintas badai kehangatan.
Setiba di planetnya, para Malariamengubahnya menjadi madukeabadian. Perubahan dahsyat, kian mengarsir planet yang dahulu hancur berantakan diterpa badai Matahari, menjadi cakar langit tinggi menusuk orbit kefanaan. Sementara, Hindaniahanya menatap dari kejauhan dan tak akan pernah mampu menginjak planet itu, sambil merasakan nyeri yang diderita dari tulang-tulang yang mulai keropos akibat hisapan ganas Wolli. Kepahitan itu berlangsung hingga rambut hitam berevolusi menjadi putih, memberi isyarat bahwa Hindaniatelah renta. Dan tanpa permisi Woliberlalu begitu saja. Wollitercatat sebagai suami ke-3 Hindania, tanpa buku nikah dan tanpa stempel negara.
Tubuh yang mulai renta, memperkaya pengalaman Hindania. Ia tak mau lagi terjebak dalam rayuan dan gombalisme sang pelancong. Tubuhnya memang renta, tetapi Ia tetap manis dihadapan pelancong. Dasar nasib sial datang kembali. Seorang Pemuda bersenjata Pedang datang menghampiri Hindania, sepertinya dari Bumi. Hindaniayang sedang merintih kesakitan, berharap Pemuda itu adalah penolongnya. Ukiran Pedang bertuliskan (cahaya, pelindung dan pemimpin). Membuat keyakinan Hindaniasemakin membulat tentang Pemuda itu.
Tetapi, tulisan yang diukir itu hanya sebatas pemanis saja. Lebih kejam, Pedangitu berfungsi seutuhnya. Menusuk, menyayat dan melukai Hindaniatanpa ampun. Hindaniamengerang kesakitan, tak ada yang menolong. Pak Tani dan Nelayan berkopiah hitam lusuh tak bisa berbuat banyak, takut ditebas sang Pedang. Untung saja, bumi meledak dan meluluhlantakkan kampung Pemuda itu. Ia bergegas pulang. Hindaniamerasa tenang. Sambil mengucap janji "tak akan ada lagi yang mampu mengusik kehidupan aku, karena aku bukan Hindania yang penuh kesialan, aku bukan milik Wolli dan Pemuda ber-Pedang, aku adalah Pertiwi yang merdeka".
Kini, aku menyaksikan dengan pahit alam Pertiwi yang merdeka. Pertiwimasih merasakan penderitaan yang pernah dilakukan Wollidan Pemuda berpedang dizaman yang berbeda. Lebih sial, pelakunya adalah penghuni Kampungku. Seperti yang telah aku katakan, bahwa orang-orang dikampungku terpukau dengan sosok Pertiwi, walau sudah renta. Berbagai tindakan "kotor" akan dilakukannya untuk menyedot cairan Pertiwi. Terkadang aku merenung, mengapa Tuhan menciptakan Pertiwihanya untuk dihisap, ditelanjangi dan disiksa tanpa henti tak pernah bosan? Apakah cairan Pertiwimampu menjamin keberlangsungan hidup hingga anak dan cucu terlahir nanti, jika dihisap dan diperebutkan tanpa berpikir rasionalitas?
Pertiwimenangis, rintik hujan adalah air matanya. Pertiwi marah, lihat petir, gempa dan letusan gunung adalah amarahnya. Dan Pertiwimerintih kesakitan, lihatlah kemarau, kelaparan dan kemiskinan adalah deritanya. Tetapi, yang merasakan semua itu adalah Ibuku, Ibu Pertiwi. Orang-orang di kampungku, hanya tersenyum tanpa sedikitpun kepedulian hatinya. Mata mereka telah dibutakan oleh profesi, persaingan dan kemewahan. Telinga mereka menjadi tuli, tertutup lintingan uang. Dan nurani mereka telah lama mati, terkubur bersama sejarah yang kelam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H