Sekarang ini di wilayah Amerika selatan atau yang dikenal dengan Amerika Latin sedang menghelat pesta sepak bola yang dikenal dengan nama Copa Amerika 2011. Perhelatan akbar sepak bola ini diadakan di Argentina yang ditonton oleh jutaan pemirsa dari seluruh dunia.Hal ini dikarenakan ajang Copa Amerika menawarkan tontonan sepak bola indah yang menjadi ciri khas latino sehingga indah dipandang mata.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan Amerika latin adalah penghasil talenta-talenta berbakat dalam sepak bola dari masa ke masa. Kita melihat pemain-pemain berbakat mulai tahun 50-60 an seperti Pele (Brazil), Alfredo di Stefano (Argnetina), Â tahun 70- 80 an seperti Sokrates dan Zico (Brazil), Mario Kempes dan Maradona (Argentina), tahun 90-an seperti Romario dan Ronaldo (Brazil), Batistuta (Argentina) sampai pemain-pemain hebat dewasa ini yang datang dari kawasan tersebut seperti Kaka, Pato, Neymar (Brazil), Messi, Teves (Argentina) maupun dari negara lainnya seperti Forlan (Uruguay) maupun Sanches (chili).
Disadari atau tidak pemain dari kawasan Amerika latin ini mempunyai cirikhas dan karakter yang berbeda dengan para pemain sepak bola dari kawasan lain contohnya saja Eropa. Pemain yang berasal dari kawasan ini biasanya lebih memiliki skill individu yang tinggi dan insting menyerang yang mumpuni. Hal ini tentu saja sangat berlainan dengan gaya eropa yang begitu khas sepeti kerja sama tim yang solid. Oleh karena itu dalam sepak bola ada 2 mahzab utama yaitu mahzab Amerika Latin yang individual dan mempunyai nilai seni tinggi dan mahzab Eropa yang lebih monoton dan terkoordinasi.
Perbedaan ciri khas antar mahzab ini ternyata merupakan produk dari pembinaan awal akademi sepak bola yang ada di negeri itu. Kita mngetahui bahwa di Eropa, pembinaan sepak bola dimulai dari akademi sepak bola yang begitu disiplin dimana setiap anak diarahkan oleh keluarganya untuk menjadi pesepak bola yang hebat. Kita tidak heran jika pra pemain besar Eropa mempunyai anak-anak sebagai penerus generasi merka seperti Johan Cruyff dan Jordi Cruyff (Belanda), Cesare Maldini dan Paolo Maldini (Italia), Miguel Reina dan Pepe Reina (Spanyol). Sedangkan di kawasan Amerika latin kemauan dan bakat sang anaklah yang akan menjadi penentu apakah ia menjadi pemain hebat atau amatiran.
Pada masa modern ini, sepak bola sudah dapat dikatakan menjadi industri dimana produksi sepak bola dimulai akademi sepak bola sebagai pemroses bahan mentahnya sehingga dapat dijadikan barang jadi dalam industrinya yaitu berupa pemain yang hebat. Di Eropa banyak kita jumpai akademi-akademi sepak bola yang hebat seperti Akademi sepak bola club Ajax Amsterdam, Manchester United maupun Barcelona. Dalam Akademi sepak bola inilah anak-anak mulai dikenal dengan filosofi sepakbola, ketrampilan bermain bola maupun kehidupan pesepak bola. Oleh karena itu biasanya pemain dari Eropa ini dapat dikatakan pemain yang berkarakter dan lebih terdidik.
Hal yang berbeda dapat dikemukakan pada sepak bola Amerika Latin. Meskipun negara-negara kawasan ini banyakmenghasilkan bakat-bakat muda dalam sepak bola, akan tetapi akademi sepak bolanya tidak begitu dikenal. Hal ini dikarenakan akademi sepak bola bukan pencetak pesepak bola yang berbakat, akan tetapi lebih kepada perekrut sepak bola. Oleh karena itu banyaknya pemain hebat dari kawasan Amerika Latin ini lebih banyak karena bakat alam yang telah ada pada dirinya dan hanya dipoles oleh akademi sepak bola dinegara tersebut.
Demikian juga setelah pemain-pemain sepak bola yang hebat itu sudah mulai memasuki masa pensiun. Pemain sepak bola dari kawasan Eropa ternyata lebih mampu bertahan sebagaipelatih sepak bola baik di klub maupun di negara masing-masing. Kita melihat betapa seorang Johan cruyff adalah pemain dan pelatih yang hebat di Barcelona, demikian juga Franz Beckenbauer yang sukses membawa Jerman menjadi juara dunia baik sebagai pelatih maupun pemain. Coba bandingkan dengan para talenta hebat dari Amerika latin yang kurang sukses sebagai pelatih seperti Mario Kempes yang dipecat oleh Pelita Jaya (Indonesia), Maradona yang dipecat oleh Argentina dan Zico yang gagal melatih di Jepang.
Oleh karena itu, berdasarkan filosofi industrialisasi bahwa suatu produk itu mesti berkualitas dari bahan mentah sampai barang jadi maupun perawatannya. Begitupun dalam sepak bola dimana seoarang pemain muda di akademi sepak bola (bahan mentah) diproduksi menjadi pemain profesional (hasil produksi) dan setelah pensiun menjadi pelatih atau menduduki jabatan-jabatan strategis dalam persepak bolaaan (pelayanan pasca produksi). Para pemain sepak bola Eropa telah dapat membuktikan kualitas dirinya mulai dari muda, profesional sampai pensiun akan tetapi di Amerika latin hal ini masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu perbedaan filosofi sepak bola ini akan mempengaruhi kualitas dan kepribadian maupun masa depan seorang pemain, karena dalam masa modern dimana sepak bola telah menjadi industri ini seorang pesepak bola diharuskan memilih sepak bola sebagai tujuan hidupnya dimana dia harus bekerja sepanjang mungkin atau cuma pilihan sesaatdiwaktu muda dan produktif.
Oleh karena itu dengan melihat filosofi sepak bola yang ada dewasa ini, anak-anak Indonesia haruslah memilih apakah  mengambil sepak bola karir pesepak bola yang begitu pendek atau berpikir lebih jauh untuk melanjutkan karir sepak bola yang begitu panjang seperti di Eropa. Mari kita buat filosofi sepak bola yang lebih baik bagi anak-anak muda Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H