Bahkan ia menganalogikan kebijakan pembangunan pemerintah selama ini seperti kisah monyet. Dikisahkan, sekumpulan monyet hidup dengan ketersediaan alam yang kaya. Ada berbagai aneka tanaman dan buah. Kehidupan monyet nan bahagia.
Suatu hari sang monyet jantan duduk di batu besar tepi sungai. Ia merasa iba melihat ikan hanya berenang di dalam air tanpa ikut merasakan indah kehidupan yang dirasakan monyet. Akhirnya, sang monyet pun mengambil ikan tersebut dari sungai. Namun sayang niat mulia dari monyet tersebut justru membawa bencana bagi ikan. Beberapa di antara ikan malah mati. Sungguh monyet tidak pernah tahu jika ikan memang diciptakan hidup di air. (hal. 70-71)
Kisah monyet tersebut mungkin tepat menggambarkan konsepsi pembangunan nasional. Model pembangunan dilakukan dengan mengeneralisasi masyarakat secara nasional (universal). Pendekatan pembanguna ini dilakukan dengan asumsi universal. Artinya, pemerintah menganggap kebutuhan masyarakat sama untuk seluruh daerah dan sama pula dengan kebutuhan penyusun kebijakan. Sehingga model pembangunan yang diaplikasikan pun melangit.
Bahkan pembangunan semacam ini bersifat temporal. Pembangunan sementara waktu dan terkesan lebih politis. Karena bagaimanapun juga konsep pembangunan dapat bertahan lama jika relevan dengan kebutuhan, bermanfaat dan tidak bertentangan dengan sistem nilai masyarakat.
Anehnya, Barat justru dijadikan trendsetter pembangunan. Selama pembangunan selalu bergantung pada faktor luar negeri. Pemerintah lebih sering studi banding ke luar negeri ketimbang blusukan ke desa-desa. Ketergantungan mengakibatkan faktor luar negeri menjadi perancang sebenarnya pembangunan. Akibatnya, definisi, tujuan, undang-undang, dan pilihan kebijakan dalam pembangunan tidak ditentukan secara mandiri.
Selain itu, kesalahan pemerintah lainnya adalah memusatkan perhatian pada pasar dan investor bukan rakyat. Keberpihakan tersebut merupakan konsekuensi dari ketergantungan pembangunan pada hutang dan investasi asing, serta pandangan pasar dan investor sebagai lokomotif pertumbuhan.
Model pembangunan semacam ini akan mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan undang-undang yang bersahabat dengan pasar. Melalui pembangunan pro pasar pemerintah melakukan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi sumber daya alam. Akibatnya, justru pembangunan ini menjadi boomerang. Masyarakat harus kembali menjadi korban dengan dalih pembangunan.
Revolusi Pembangunan
Yansen membuat gebrakan baru konsep pembangunan membumi. Ia menyebutnya dengan Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Revolusi pembangunan yang dilakukannya menempatkan masyarakat desa sebagi subjek pembangunan. Gerakan pembangunan datang dari rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh rakyat sendiri. (from, for and by the rural society).
Pembangunan yang digagas Yansen sangat memperhatikan karakteristik dan lokalitas. Pasalnya, karakteristik geografi seperti lokasi dekat laut, pinggir sungai, pinggir hutan, pedalaman sangat berpengaruh terhadap model pembangunan yang diimplementasikan. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir pantai tentu berbeda dengan daerah agraris. Begitu seterusnya. Jika dipaksakan tentu tidak efektif.
Melalui pembangunan yang mengedepankan lokalitas, gerakan pembangunan dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan konteks peradaban. Pembangunan bersifat fleksibel tidak kaku. Bahkan mampu bermetamorfosa menjadi kekuatan utama memotivasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena Indonesia bangsa majemuk nan kaya akan lokalitas.