Mohon tunggu...
Money

Analisis "Good Company Bad Stock"

21 Desember 2017   18:25 Diperbarui: 21 Desember 2017   18:27 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

  • Alasan mengapa emiten termasuk ke dalam Good Company Bad Stock

Saham  PT. KMI Wire and Cable Tbk adalah perusahaan yang bergerak di bidang  Pembuatan kabel dan kawat alumunium dan tembaga serta bahan baku  lainnya, beserta seluruh komponen, suku cadang, aksesoris yang terkait  dan perlengkapannya, termasuk teknik rekayasa dan instalasi kabel. Saham  ini memiliki fundamental yang cukup bagus, harganya merupakan yang  paling murah jika dibandingkan dengan emiten sesame sektor dan trading volume saham tersebut juga merupakan yang paling tinggi. 

Bila dibandingkan dengan saham pada sub-sektor kabel, memang KBLI memiliki trading volumeyang cukup tinggi, namun apabila dibandingkan dengan saham saham yang berasal dari sektor industri lain, tingkat rata-rata trading volumetersebut tidaklah seberapa. Kategori bad stockbukan berarti memiliki trading volumenol. Trading volumemasih merupakan aspek penting untuk melihat investor behavior seperti 'Apakah saham tersebut masih aktif diperjual-belikan oleh  investor lain? Apakah banyak investor lain yang juga tertarik untuk  berinvestasi di saham ini?' dan apabila banyak investor lain yang juga  tertarik untuk berinvestasi, hal tersebut dapat membuat naiknya harga  saham. Dengan harga tersebut, saham KBLI juga cocok untuk investor yang  memiliki modal tidak terlalu besar sehingga saham ini dapat dijadikan  target untuk berbagai kalangan investor.

Berdasarkan data International Monetary Fund,  pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan sebesar 5,06% terutama didorong  oleh konsumsi swasta yang kuat. IMF juga memandang bahwa stancekebijakan  moneter Indonesia saat ini sudah tepat. Bank Indonesia menurunkan suku  bunga kebijakan pada 2017 ditengah tekanan inflasi yang menurun dan  tekanan eksternal yang berkurang. 

Implementasi suku bunga kebijakan Bank  Indonesia yang baru (BI 7-day Reverse Repo Rate) pada Agustus  2016 telah berjalan lancar. Selain itu salah satu kebijakan pemerintah  yang sangat berdampak besar adalah pengadaan tax amnesty. Program tax amnestyIndonesia  tergolong sukses, karena pemerintah mampu menarik WNI di luar negeri  membawa dananya masuk dalam bentuk repatriasi ke Indonesia hingga  mencapai Rp 200 triliun dari target repatriasi Rp 1000 triliun hanya  dengan waktu 5 bulan. Program tax amnestytentunya sangat berdampak besar bagi industri pasar modal, karena pasar modal dapat menjadi gateway bagi dana repatriasi.

Berdasarkan pendapat Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2018  sebesar 5,1 persen atau setara dengan proyeksi Bank Indonesia sebesar  5,1 hingga 5,5 persen. Berdasarkan portal berita kompas, Bank Indonesia  menyatakan bahwa untuk 2018 mendatang kondisi perekonomian nasional  masih cenderung kondusif. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia  pada tahun 2018 akan berada pada kisaran 5 hingga 5,4 persen dan  inflasi akan berada dikisaran target 4 1%. Hal tersebut diharapkan dapat  mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya pertumbuhan  komunitas bisnis. Selain itu, Indonesia juga berharap untuk meningkatkan  perdagangan dengan membuat variasi produk ekspor ke mancanegara.

  • Analisis Industri

Di  era pemerintahan sekarang, pembangunan infrastruktur merupakan salah  satu program yang sedang marak-maraknya dijalankan. Proyek pembangunan  infrastruktur tersebut tentunya menjadi peluang bagi beberapa emiten  untuk mendapatkan keuntungan, dimana keuntungan tersebut juga akan  dirasakan oleh para investor emiten. 

Dilansir dari portal berita VIVA,  salah satu sektor yang diprediksikan akan boomingdi  tahun-tahun kedepan adalah sektor aneka industri. Para investor yang  sebelumnya memiliki saham di sektor konsumer, diperkirakan akan pindah  ke sektor yang salah satunya adalah aneka industri dikarenakan nilai  saham konsumer telah mencapai valuasi yang tinggi dan pertumbuhannya  diperkirakan tidak relatif tinggi, kemungkinan dibawah 10 persen.  Berdasarkan dua informasi diatas, nampaknya sub-sektor kabel pada sektor  aneka industri berpotensi untuk terus menguat. Berikut merupakan  perbandingan data PBV, PER, ROE dan EPS dari keenam emiten sub-sektor  kabel, yang telah diolah dari laporan keuangan tahunan masing-masing  emiten pada tiga tahun terakhir.

Dari data PBV diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar nilai PBV < 1. Hal tersebut mencerminkan bahwa saham kabel masih undervaluedatau  murah. Beberapa saham dari sub-sektor ini juga memiliki nilai PER yang  rendah, yakni dibawah nilai rata-rata yaitu 15. Nilai PER ini juga dapat  digunakan untuk menilai saham, yang mana jika nilai PER saham dibawah  15 dapat dikatakan sebagai saham undervalued. Selain itu, nilai ROE dan EPSnya pun masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan sub-sektor lain.

Pada  awal tahun 2017, pemerintah sedang mengejar percepatan infrastruktur  khususnya dalam bidang kelistrikan nasional. Bahkan pemerintah telah  diterbitkan peraturan presiden untuk menunjang program tersebut.  Peraturan tersebut ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2016, yaitu  Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2016 tentang  Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Perpres tersebut  ditujukan untuk mempercepat pembangunan pembangkit 35.000 MW dan  jaringan transmisi sepanjang 46.000 km dengan mengutamakan penggunaaan  energi baru dan terbarukan dalam rangka mendukung upaya penurunan emisi  gas rumah kaca. Megaproyek yang digagas oleh pemerintah tersebut  seharusnya memberikan imbas positif pada saham-saham sub-sektor kabel  yang mana industri kabel ini salah satu penunjang infrastruktur  kelistrikan.

Berdasarkan  laporan tengah tahunan 2017, emiten-emiten kabel ini membukukan  pertumbuhan penjualan dan laba yang signifikan. JECC memimpin laju  pertumbuhan year on yearbila dibandingkan dengan periode yang  sama tahun sebelumnya. Penjualan JECC meningkat menjadi Rp 1,02 triliun,  yakni naik sebesar 29,49% dari tahun sebelumnya yang membukukan sebesar  Rp 789,53 milliar. Di urutan berikutnya, SCCO, KBLM dan KBLI mencetak  pertumbuhan masing-masing sebesar 11,34%, 10,49% dan 9,03%. Dari sisi  pertumbuhan laba bersih, saham-saham kabel ini mencetak kenaikan yang  sangat tinggi. JECC membukukan kenaikan laba bersih sebesar 12.733%,  diikuti VOKS yang naik 4.781%, kemudian KBLM dengan kenaikan sebesar  1.558%. Dalam hal likuiditas, dari keenam saham kabel diatas terlihat  bahwa saham KBLI merupakan saham yang paling likuid. Data diatas  merupakan rata-rata trading volumeharian selama tiga bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun