Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekadar Menyapa

16 Februari 2017   09:55 Diperbarui: 17 Februari 2017   18:23 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suatu pagi di Kampus UNDIP (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Satu hari baru sudah dimulai.
Saya duduk bersila, dan mulai menarik nafas dalam.
Saya bukan pengikut aliran meditasi, tapi kata Anand Krishna, itu bikin otak lebih siap buat berifikir.
Pelan, kesadaran saya mulai naik.
Matahari merayap dan mulai menyebarkan rasa hangat.
Lagi-lagi saya cuma ingin menulis.
Hal ini sudah saya jalani selama bertahun-tahun. Tanpa kesengajaan buat menciptakan rutinitas. Tanpa niat menciptakan sebuah keteraturan.
Saya melakukannya cuma karena merasa bahwa inilah satu-satunya yang bisa dilakukan dalam menyambut pagi. Hampir tanpa dorongan apapun, bahkan tanpa rasa apapun.
Ms-Word sudah terbuka. Saya siap menulis.

Selamat pagi, saya cuma ingin menulis.
Sesuatu yang masih bisa saya lakukan dengan hati. Setidaknya setengah jiwa ini tertinggal disana. Saya ingin menulis. Tapi tidak untuk bicara; mulut saya penuh sumpah serapah. Dan saya tidak ingin berteriak. Percuma, toh kamu juga tidak mendengar!

Kamu tau bagian yang paling menyenangkan dari menulis? Adalah ketika kita tidak perlu mendengar, melihat, memperhatikan, dan (pura-pura) peduli buat berinteraksi dengan lawan bicara. Kita adalah pusatnya! Bukankah menyenangkan jika segala sesuatu berpusat pada kita.
Waktu, ruang, dan energi.
Sedangkan hal lain yang ikut berputar di sekitar kita, itu sama sekali bukan masalah.
Setengah hidup saya terpampang disana. Di semua tulisan-tulisan saya.

Yang ada cuma kita, otak, keyboard.

Kita, otak, keyboard.

Seperti ular yang memakan ekornya. Jadi pada akhirnya kita jugalah keyboard itu. Energi kita tertinggal disitu. Di semua tulisan-tulisan itu.
Disana ada saya, kamu, kita, kalian, mereka, dan alam semesta.
Saya cuma ingin bercerita tentang kita, dengan bahasa yang paling sederhana.
Matahari merayap naik. Lagi, seperti mesin tua yang kurang pelumas, saya menyeret langkah ke kamar mandi, sikat gigi. Selalu lama di bagian terakhir. Perihnya terasa sampai ke gusi. Dan baru berhenti setelah mulut saya berwarna merah.
Memang hidup saya bukanlah hidup yang diimpikan semua orang. Tulisan saya tak membuat orang lain berbondong-bondong ingin membacanya. Tapi inilah saya, dengan segala baik dan buruk yang saya miliki.
Untuk setiap pribadi yang rindu kedamaian...
Saya hanya ingin menjadi salah satu bagian dari itu.
K e d a m a i a n
Tentu tidak banyak yang saya miliki untuk ikut menciptakannya, bahkan untuk sekedar mencoba memulainya. Tapi setidaknya, saya ingin membawa kata itu dalam setiap tulisan dan coretan pena diatas kertas kumal saya. Mungkin itu tidak menjadikan saya lebih berarti dari saat ini. Namun saya hanya coba menjadikannya berarti bagi diri saya sendiri.

Save. File closed

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun