Setelah persidangan pada Kasus Penistaan Agama, Basuki Tjahaja Purnama, Selasa (31/01/2017), media sosial riuh membicarakan kontroversi yang terjadi di ruang sidang. Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab disapa dengan Ahok, mengeluarkan pernyataan bahwa  ada percakapan antara Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Kyai Ma'ruf Amin terkait kasus Ahok.Â
Dalam kacamata hukum, penyadapan dikemukakan dalam 2 (dua) pemaknaan.Â
- Pemaknaan pertama adalah penyadapan yang tidak sah (unlawful interception). Pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ditegaskan bahwa unlawful interception atau penyadapan yang tidak sah adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.Â
- Pemaknaan kedua adalah penyadapan yang sah (lawful interception). Lawful interception adalah suatu cara penyadapan yg menempatkan posisi penyadap dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi sedemikian rupa sehingga penyadapan tersebut memenuhi syarat tertentu yang dianggap sah dimata hukum. Tetapi tentu saja standar antar negara dalam perumusan syarat-syarat yuridis penyadapan tersebut sangatlah berbeda-beda.Â
Dalam kasus percakapan SBY dan Kyai Ma'ruf Amin yang terkuak dalam persidangan Ahok, penyadapan disini bisa dikatakan tidak sah (illegal) karena memenuhi kriteria penyadapan dalam pemaknaan yang pertama. Apakah Ahok dapat memberikan penjelasan yang transparan tentang alasan penyadapan yang dilakukannya? Sebagaimana yang diberitakan Tempo (01/02/2017), bahwa setelah kasus ini memanas dan menimbulkan spekulasi di masyarakat, Ahok lalu meminta maaf kepada Kyai Ma'ruf Amin. Dua fakta ini cukup menguatkan bahwa penyadapan SBY tersebut bukan termasuk lawful interception.
Di samping hak dalam sektor publik, setiap orang juga memiliki privasi atau hak-hak yang bersifat pribadi. Termasuk di dalamnya untuk berkomunikasi secara personal dengan orang lain.Â
Namun privasi ini kerap kali dilanggar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, misalnya dengan melakukan penyadapan. Jika penyadapan dilakukan karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, maka penyadapan yang dilakukan adalah legal atau sah. Melalui penyadapan ini, lembaga hukum seperti KPK berhasil mengungkap sebagian kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebaliknya, penyadapan yang dilakukan tanpa amanat undang-undang, merupakan tindakan melanggar hukum.
Ada empat institusi yang memiliki kemampuan penyadapan di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Intelijen Negara, Polri, dan Badan Intelijen Strategis TNI. Namun, untuk dapat menyadap seseorang, itupun masih harus melalui izin pengadilan. Tidak boleh seseorang, tanpa melalui izin peradilan kemudian melakukan penyadapan terhadap seseorang. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 31 UU tentang Informasi Transaksi Elektronik yang berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja atau tanpa hak melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik tertentu, dipidana. Dengan pidana paling lama 10 tahun dan atau denda Rp 800 juta."
Otentisitas Penyadapan sebagai Alat Bukti yang Sah
Sebagaimana penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 dalam Perkara Pengujian UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (07/09/2015), menegaskan bahwa penyadapan bisa dijadikan alat bukti yang sah. Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah real evidence atau physical evidence. Pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana.Â
Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana asalkan memenuhi kaidah hukum pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Namun, ketika seseorang atau lembaga penegak hukum lalu menggunakan  alat bukti penyadapan, yang diperoleh dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence), maka bukti-bukti yang dimaksud dapat dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.Â
Penyadapan sebagai Delik Politik
Secara normatif, sebenarnya kita tidak mengenal istilah delik politik. Namun dalam praktik dan di dunia akademis istilah delik politik cukup dikenal. Remelink mengemukakan bahwa kejahatan politik berbeda dengan kejahatan pada umumnya dilihat dari pelaku, yaitu mereka yang dengan sadar menentang tertib hukum yang berlaku dikarenakan pendapat mengenai negara atau hukum yang mereka anut lebih baik dari pendapat yang dijunjung oleh negara lain. Perbedaan kedua menyangkut motivasi pelaku. Pada kejahatan umum, pelaku melakukan delik karena motivasi pribadi, sedangkan pelaku delik politik dimotivasi oleh tujuan tertentu diluar kepentingannya.
Para ahli hukum pidana secara umum menyepakati bahwa delik politik dalam KUHP terkait dengan empat judul pertama buku kedua. Dimana buku kedua tersebut biasanya berfokus perihal keamanan negara. Judul yang dimaksud adalah: 1) Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, 2) Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden; Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat serta Wakilnya; dan Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan.