Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menyikapi Pilkada Jakarta

16 Februari 2017   08:38 Diperbarui: 25 Februari 2017   08:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga mengikuti Pilkada DKI dengan tertib dan damai (Sumber: KPU).

Kemarin, tepatnya tanggal 15 Februari 2017, rakyat Jakarta melaksanakan Pilkada. Pagi hari, kepadatan lalu lintas yang biasanya terlihat di Jalan Sudirman tidak lagi tampak. Jalanan kota lengang. Rakyat bersiap-siap untuk menentukan siapa nantinya yang akan memimpin Jakarta.

Pengamanan dilakukan di seluruh ibukota, bukan hanya oleh TNI, Polri, dan Satpol PP, namun juga masyarakat melalui pengamanan di tingkat RT/RW. Delapan batalion disiapkan Pangdam Jaya untuk membantu Polda. Isu bahwa polisi akan mengerahkan 75.000 pasukan untuk mengamankan Pilkada ternyata tidak benar. Total terdapat 28.000 personel gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP yang turut mengamankan pelaksanaan Pilkada Jakarta. Secara umum, Pilkada berlangsung secara aman dan terkendali.

Pilkada Jakarta adalah momen politik yang menarik untuk dikaji. Setiap hari, dinamika politik di Jakarta menjadi sorotan media massa. Mulai dari isu penistaan agama, pelanggaran Undang-Undang, isu rasial, black campaign, pembelian hak suara, tweet war, perbedaan hasil survei, debat calon gubernur, cyberbullying, beredarnya KTP dan NPWP palsu, isu penyadapan, berbagai aksi demo, perbedaan pandangan pakar hukum, sampai pernyataan Antasari Azhar. Pertarungan politik dan isu-isu yang bergulir selama Pilkada Jakarta telah membuat suara rakyat terbelah, baik itu di kalangan agama, akademisi, maupun masyarakat.

Pilkada akhirnya usai. Televisi lalu dipenuhi dengan hasil penghitungan cepat atau quick count. Beberapa lembaga telah merilis hasil survei mereka. Sampai pukul 18.00 WIB (15/02/2017) setidaknya sudah ada 5 lembaga survei besar yang telah mempublikasikan hasil penghitungan cepat untuk Pilkada Jakarta. LSI Denny JA merilis data bahwa Agus-Sylvi meraih 16,87% suara, Ahok-Djarot 43,22% suara, dan Anies-Sandi 39.91% suara. 

Polmark Indonesia menghitung data bahwa Agus-Sylvi meraih 19,11% suara, Ahok-Djarot 41,21% suara, dan Anies-Sandi 39,68% suara. Lembaga Indikator Indonesia merilis data bahwa Agus-Sylvi meraih 17,02% suara, Ahok-Djarot 43,58% suara, dan Anies-Sandi 39,41% suara. SMRC menyebut bahwa Agus-Sylvi meraih 16.68% suara, Ahok-Djarot 43,14% suara, dan Anies-Sandi 40,18% suara. 

Lalu Charta Politica merilis bahwa Agus-Sylvi meraih 17,02% suara, Ahok-Djarot 43,58% suara, dan Anies-Sandi 39,41% suara. Penghitungan resmi tentunya masih menunggu hasil Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun angka margin of error biasanya tidak terlalu jauh. Artinya, kemungkinan besar Pilkada Jakarta akan dilangsungkan dua putaran antara pasangan Basuki-Djarot melawan Anies-Sandi.

Yang menarik dari Pilkada Jakarta, jika di Yogyakarta masing-masing pasangan calon kepala daerah, Imam Priyono-Achmad Fadli dan Haryadi Suyuti-Heroe Purwadi saling klaim kemenangan, namun tak begitu halnya dengan Pilkada Jakarta. Malam hari, sekitar pukul 20.30, kubu Agus-Sylvi mengadakan konferensi pers di Wisma Proklamasi yang pada intinya menyatakan bahwa ia secara ksatria menerima kekalahan dengan lapang dada. Ia menyadari bahwa seperti halnya kompetisi-kompetisi lainnya, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Lebih lanjut, ia menyatakan dukungan terhadap dua pasangan calon yang akan melaju di putaran kedua. Sikap semacam ini adalah sikap yang perlu dicontoh bagi pasangan calon kepala daerah lain yang mengalami kekalahan. Sikap legowo dari pasangan calon kepala daerah, mampu meredam gejolak konflik dari kekecewaan masyarakat pendukung yang kalah dalam Pilkada.

Sebagai warga yang tidak berasal dari Jakarta, saya turut bangga melihat rakyat Jakarta dapat memilih secara tertib dan damai. Negara ini adalah negara demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. 

Pihak yang menang tidak boleh sewenang-wenang pada pihak yang kalah. Sementara pihak yang kalah juga harus sportif menerima kekalahan, serta mendukung pihak yang menang.

Inilah pelajaran berharga dari demokrasi kita yang masih muda. Mari berpolitik dengan sehat. Mari memberikan teladan yang baik bagi rakyat. Kalah atau menang dalam Pilkada adalah sesuatu yang biasa. Apapun hasilnya, itulah suara rakyat. Kita harus menerima dan menghormatinya. Jayalah terus Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun