Beberapa tahun yang lalu ketika sedang menimba ilmu di kota Malang, saya harus naik angkot untuk mengembalikan buku ke rumah teman saya yang letaknya tidak jauh dari Stadion. Belum setengah perjalanan, angkot yang saya tumpangi dihadang oleh suporter sepakbola Arema. Mereka berjumlah sekitar dua puluhan orang. Suporter itu memaksa ikut naik ke dalam angkot yang saya tumpangi, padahal di dalam angkot sudah terisi 5 orang penumpang. Alhasil, lima orang suporter yang tidak kebagian kursi, rela duduk bagian atas angkot, mempertaruhkan keselamatan jiwa dan raga mereka sendiri untuk membela tim kesayangan.
Waktu saya tanyakan, "Mengapa tidak menunggu angkot yang ada di belakangnya saja, Mas?"
Jawaban mereka, “Kami nggak mau terlambat separuh pertandingan, Mbak. Kami ini pendukung yang fanatik!”
Kata fanatik, sering ditambahkan di belakang kata pendukung, penggemar, fans, atau suporter; baik itu suporter pertandingan sepak bola, bulutangkis, voli, artis, penyanyi, atau grup musik tertentu. Perbedaan antara "suporter" dengan "suporter fanatik", bisa dilihat dari pengalaman saya pada saat naik angkot. Suporter akan menunggu 20 menit untuk naik angkot lain, jika angkot yang menuju stadion telah penuh. Suporter ini masih bisa mempertimbangkan dampak dan resiko apa yang mungkin terjadi, jika ia memaksa naik angkot yang sudah penuh. Sementara suporter fanatik beda lagi. Mereka berani pasang badan untuk mendukung tim jagoannya, tak peduli dengan resiko terjatuh dari atas kendaraan. Suporter fanatik, tidak lagi bisa mempertimbangkan konsekuensi dan hubungan sebab-akibat dari tindakan yang ia lakukan.
Walau sering digunakan dalam dunia olahraga maupun hiburan, namun fanatisme sebenarnya lahir dari arena tarung teologi dan politik yang menyertai gerakan Reformasi Gereja Kristen. Pada tahun 1525, Martin Luther, sang pelopor Protestanisme, menghadapi perlawanan kelompok petani yang dipimpin Thomas Müntzer. Luther kemudian menggunakan kata Schwärmer (kaum fanatik) untuk menamai kelompok petani yang melawannya. Pilihan kata yang tepat bagi seorang pelopor reformasi gereja, bahwa siapapun yang melawannya berarti anti-reformasi dan termasuk golongan konservatif yang fanatik.
Fanatisme juga sering digunakan dalam industri media untuk menggambarkan pandangan keagamaan para pelaku terorisme, yang mana sebagian besar pelaku tindak pidana tersebut kebetulan merupakan pemeluk agama Islam. Akibat pemberitaan-pemberitaan tersebut, kemudian lahir lema-lema baru seperti ekstremis Islam, atau Islam fanatik, yang terafiliasi erat dengan berbagai tindak kekerasan bermotifkan agama—yang sebetulnya lahir dari kesalahan penafsiran.
Bob de Graaff dari Utrecht University, dalam bukunya History of Fanaticism: From Enlightenment to Jihad menyatakan, para pemeluk agama setidaknya terbagi empat kategori: determinis yang pasrah, reformis yang optimis, kolonis utopian nan penyendiri, dan kaum fanatik. Kategori yang terakhir, dalam pandangan Graaf, merupakan kelompok yang memaksakan kekuasaan Tuhan di bumi atau memotong sejarah melalui jalan pintas, dan seringkali menggunakan kekerasan. Watak utama kelompok fanatik ini adalah absolutisme, kemutlakan kebenaran, baik dalam hal nilai maupun metode untuk mencapainya. Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan fanatisme sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran (tokoh, politik, agama, dsb).
Dalam kehidupan politik bangsa kita sepanjang tiga tahun terakhir, fanatisme politik bahkan sampai di tahap yang tidak sehat. Karena perbedaan pilihan poltik, tak sedikit keluarga yang semula harmonis menjadi renggang, atau sahabat yang mulanya berhubungan dekat kini tak lagi bertegur sapa. Mungkin hampir semua di antara kita merasakan, sejak momentum Pemilu 2014, perseteruan antara dua kelompok politik —yang direpresentasikan oleh figur Joko Widodo di satu sisi, dan Prabowo Subianto di sisi lain— tak kunjung berakhir. Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah saling bersalaman, namun banyak di antara pendukung fanatik keduanya yang masih bermusuhan.
Apa bahaya fanatisme politik?
Hal menarik yang bisa diamati sejak saat Pilpres yang lalu yaitu: dengan mengetahui figur yang didukung oleh seseorang, serta-merta seseorang dapat mengetahui pandangan politik dan keagamaan yang dianut olehnya. Seorang pendukung Jokowi dengan mudah dilabeli sebagai simpatisan Jaringan Islam Liberal (JIL), atau Syiah dan Komunis.
Sedangkan pendukung Prabowo dicap sebagai simpatisan Orde Baru dan dianggap keras dalam beragama. Beberapa prasangka yang dikemukakan ini berakhir pada stigmatisasi atau pemberian label atas kelompok atau individu tertentu. Begitu mengerikannya stigma atau label yang dilekatkan pada para pendukung calon presiden tersebut, bahkan menjadikan tindakan tersebut bukan lagi sekadar melabeli, tapi lebih mengarah pada demonisasi.