Sebagaimana yang diberitakan di Kumparan pada 25/2/2017, masyarakat (termasuk saya) dikagetkan dengan munculnya spanduk bertuliskan "Tolak Salatkan Pembela Penista Agama". Tidak tanggung-tanggung, spanduk ini dilaporkan sudah muncul di tiga tempat di Jakarta: Setiabudi, Cakung, dan Kalibata.
Apa itu penistaan agama?
Secara umum penistaan (penodaan agama) diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tabu) yaitu, simbol-simbol agama/pemimpin agama/kitab suci agama. Bentuk penodaan agama pada umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan.
Namun secara hukum, tidak ada definisi atau pengertian yang jelas mengenai penistaan agama. Baik dalam Pasal 1 UU PNPS maupun Pasal 156A KUHP (pasal penodaan agama) juga tidak memberikan definisi ataupun penjelasan yang jelas soal penodaan agama. Tidak adanya definisi atau penjelasan yang jelas menurut Undang-Undang membuat pasal penodaan agama ini multitafsir, dan tidak memberikan kepastian hukum (pasal karet). Tidak jelasnya konsep penodaan agama dalam peraturan perundang-undangan membuatnya rentan disalahgunakan (misus).
Bagaimana perjalanan mengenai masalah penistaan agama di Indonesia?
Penistaan agama di Indonesia dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum (perbuatan tercela). Landasan hukumnya adalah Pasal 156A KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU Nomor 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.
Di era Orde Baru sampai awal reformasi dari tahun 1965 hingga tahun 2000, pasal 156A hanya dipakai 10 kali. Namun dalam 15 tahun terakhir (2000-2015) telah digunakan pada lebih dari 50 kasus. Dengan pelaku terbanyaknya mengaku beragama Kristen 61 orang dan Islam 49 orang (aliran kepercayaan 4 orang dan tidak diketahui 6 orang).
Apakah setelah reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998? Tidak bisa dipastikan.
Yang jelas pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan kemurnian agama dan tujuan politik.
Dalam perkembangannya, Pasal 156A KUHP ini telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 2 kali dan penistaan agama telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai delik pidana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya masih bisa diterapkan dan menjerat siapapun yang diduga melakukannya.
Aturan pokok yang umumnya digunakan dalam kasus penodaan agama adalah UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) serta Pasal 156A KUHP.
Pasal 1 UU PNPS menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu."