Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Korupsi di Sektor Kehutanan

1 Februari 2017   08:47 Diperbarui: 17 Februari 2017   19:47 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penebangan liar dan penyelesaian kasus korupsi di sektor kehutanan merupakan agenda mendesak, jika pemerintah serius dalam upaya pemberdayaan dan pelestarian lingkungan hidup (Sumber: The Guardian).

Kasus korupsi di sektor kehutanan bukan lagi merupakan kasus yang baru. Dari catatan Mongabay Indonesia (07/11/2013), sejak KPK berdiri, pada akhir tahun 2003 hingga Agustus 2012 saja, setidaknya ada tujuh perkara korupsi sektor kehutanan yang telah ditangani. Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW, mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum maksimal dalam mengusut korupsi sektor kehutanan. Penegakan hukum lingkungan belum banyak menjerat pelaku kunci, seperti korporasi pabrik bubur pulp dan paper.

Selama ini ada banyak versi yang bicara soal kerugian keuangan negara akibat praktek ilegal di sektor kehutanan. Mantan Menteri Kehutanan, M.S. Kaban pernah mengatakan, kerugian negara akibat praktek tebang liar (illegal logging) di sektor kehutanan mencapai Rp. 30 triliun atau sekitar Rp. 2,5 triliun setiap bulannya. Sedangkan EIA melaporkan bahwa kerugian akibat pembalakan liar mencapai Rp. 40 triliun pertahun. Berbagai versi ini menunjukkan, begitu strategisnya Sektor Kehutanan sebagai prioritas pembenahan atau reformasi birokrasi. Praktek korupsi juga dinilai punya andil signifikan yang menyebabkan kerusakan ekologi yang kerugian materialnya tidak bisa diukur secara pasti.

Dari pemeriksaan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KPK menemukan bahwa sebagian data produksi yang tercatat pada Kementerian Lingkungan Hidup ternyata jauh lebih rendah daripada volume kayu yang dipanen dari hutan alam di Indonesia. 

Hasil kajian KPK juga menunjukkan bahwa total produksi kayu yang sebenarnya, dalam 10 tahun terakhir, sudah mencapai 630,1 sampai 772,8 juta meter kubik. Sedangkan menurut statistik resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia selama 10 tahun terakhir secara keseluruhan hanya mencapai 143,7 juta meter kubik.

Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa statistik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya mencatat 19-23% dari total produksi kayu selama periode kajian, sedangkan 77-81% tidak tercatat. Artinya, biaya pemeliharaan hutan sangat besar, namun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor itu tidak dikelola dengan baik. Potensi kerugian keuangan negara akibat Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang tidak terpungut mencapai angka Rp 5,24-7,24 trilliun per tahun.

Selain itu, KPK juga menemukan sejumlah kelemahan dalam sistem administrasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor Kehutanan, antara lain lemahnya sistem data dan informasi; pengendalian internal tidak memadai untuk memastikan akuntabilitas tata usaha kayu dan pemungutan PNBP; mekanisme akuntabilitas eksternal tidak memadai untuk mencegah kerugian negara; terbatasnya efektivitas penegakan hukum kehutanan; serta tarif royalti di sektor kehutanan ditetapkan pada tingkat yang memfasilitasi pengambilan rente ekonomi yang sangat terbatas oleh pemerintah dan memberikan insentif implisit bagi pengelolaan hutan yang tidak lestari.

Untuk itu, selain melakukan pembenahan sektor PNBP Kehutanan, dalam rangka perbaikan tata kelola di sektor kehutanan, KPK perlu mempercepat proses pengukuhan kawasan hutan, melalui instrumen Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan. Pemerintah melalui KPK juga perlu mendorong perluasan wilayah kelola masyarakat melalui percepatan realisasi perhutanan sosial serta mendorong keterbukaan informasi publik dan penguatan instrumen antikorupsi.

Intinya, dalam satu dekade terakhir, potensi penerimaan negara dari pengelolaan kekayaan alam tidak berbanding lurus dengan realisasi di lapangan. 

Ketika bisnis berbasis sumber daya alam tak dikelola transparan dan akuntabel, ujung-ujungnya negara dirugikan akibat rendahnya penerimaan dari sektor pertambangan, kelautan, dan kehutanan. Korupsi di sektor Sumber Daya Alam tidak hanya merupakan persoalan kerugian keuangan negara, akan tetapi juga persoalan kegagalan negara dalam mengelola Sumber Daya Alam sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, perbaikan tata kelola kehutanan harus menjadi agenda Pemerintah pada tahun 2017 ini. Bukankah salah satu tanggung jawab negara, sebagaimana yang diamanatkan konstitusi pasal 33 ayat (2), adalah perlindungan dan penguasaan negara atas bumi, air dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun