Gempa besar dan tsunami yang terjadi di kawasan timur Jepang pada bulan Maret 2011 lalu, memicu terjadinya bencana nuklir di Fukushima. Reaktor nuklir, yang awalnya diciptakan untuk kesejahteraan warga Jepang, dan diklaim telah memenuhi standar keselamatan, ternyata mengakibatkan malapetaka di Kota Fukushima. Kawasan ini, tidak lagi aman ditempati dan tidak lagi mampu melindungi warga dari dampak radioaktif nuklir, sampai beberapa tahun kemudian.Â
Ada masalah yang lebih luas dan pertanyaan penting yang masih membutuhkan perhatian kita:
- Bagaimana mungkin dengan berbagai jaminan dan pertimbangan, kecelakaan nuklir besar yang setaraf dengan bencana Chernobyl tahun 1986, terjadi lagi di salah satu negara industri yang paling maju di dunia?
- Mengapa rencana darurat dan evakuasi, tidak mampu melindungi orang dari paparan yang berlebihan terhadap dampak radioaktif dan kontaminasi yang dihasilkannya?
Ada beberapa poin yang bisa ditarik dari kejadian ini:
- Kecelakaan nuklir Fukushima merupakan akhir dari paradigma keselamatan nuklir.Â
- Kecelakaan nuklir Fukushima memperlihatkan kegagalan yang dalam dan sistemik, dari lembaga yang seharusnya mengontrol tenaga nuklir dan melindungi masyarakat dari kecelakaan tersebut.
Setelah bencana yang terjadi di Fukushima, bisa kita simpulkan bahwa yang namanya "keselamatan nuklir" itu tidak pernah ada dalam kenyataan. Yang ada hanyalah resiko nuklir.Â
Setiap saat, kombinasi yang tak terduga dari kegagalan teknologi, kesalahan manusia, atau bencana alam di reaktor manapun di seluruh dunia bisa terjadi, yang dapat menyebabkan reaktor menjadi tak terkendali. Di Fukushima misalnya, dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gagalnya reaktor pertama, ledakan hidrogen besar menghancurkan penghalang terakhir sejumlah besar radiasi, sebelum akhirnya keluar ke udara terbuka.Â
Industri nuklir terus berkata, bahwa kemungkinan kecelakaan besar seperti Fukushima sangatlah rendah. Dengan lebih dari 400 reaktor yang beroperasi di seluruh dunia, probabilitas krisis inti reaktor, hanya mungkin terjadi satu kali dalam 250 tahun. Asumsi ini terbukti salah besar. Menurut analisis berbeda yang dilakukan oleh Greenpeace International, kecelakaan nuklir dapat terjadi di suatu tempat di seluruh dunia, kira-kira sekali setiap satu dekade.Â
Salah satu prinsip ilmu pengetahuan modern adalah, bahwa ketika pengamatan tidak sesuai dengan hitungan, maka prediksi, model, dan teori perlu direvisi. Industri nuklir hanya bergantung pada model resiko yang rendah bencana, membenarkan kelanjutan operasi reaktor di Jepang dan seluruh dunia. Walau dalam kenyataannya, bencana ini memperlihatkan kegagalan sistemik di sektor nuklir dalam hal: darurat dan perencanaan evakuasi, kewajiban dan kompensasi atas kerusakan, serta regulasi nuklir.
Prof. David Boilley, ketua LSM Perancis ACRO, menulis bagaimana Jepang, sebuah negara yang paling berpengalaman dan lengkap, ketika dihadapkan pada penanganan bencana skala besar, menemukan bahwa perencanaan darurat untuk kecelakaan nuklir tidak fungsional. Pada saat bencana terjadi, evakuasi menjadi kacau sehingga banyak manusia yang harus menanggung dampak radiasi.Â
Dalam waktu dua minggu setelah bencana nuklir terjadi, pemerintah meminta warga yang tinggal 20-30 kilometer radius dari bencana, untuk sukarela mengungsi. Kemudian pada akhir April 2011, pemerintah memperpanjang zona evakuasi hingga 50 kilometer. Sekali lagi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, pemerintah meminta lebih banyak orang di luar zona evakuasi untuk mengungsi. Data pemerintah yang dirilis kemudian, memaparkan fakta bahwa pemerintah harus mengevakuasi masyarakat hingga 250 kilometer dari kawasan bencana.
Poin yang bisa diambil dari penanganan bencana adalah:
- Perangkat lunak khusus yang digunakan untuk memprediksi bencana, tidak digunakan dengan benar.
- Prosedur evakuasi masyarakat rentan, gagal.
- Program-program dekontaminasi untuk membersihkan daerah yang sangat terkontaminasi, menimbulkan pertanyaan besar dalam hal efektivitas, biaya, dan efek samping negatif.