Sebelum mempertanyakan pelanggaran HAM di Galuh Rehabilitation Center, kita harus mengkaji dulu kondisi di lapangan. Faktanya, banyak kita jumpai orang-orang sakit jiwa berkeliaran di jalan raya, di bawah kolong jembatan, atau di emperan toko. Pernahkah kita memikirkan bagaimana cara orang-orang ini mendapatkan makanan dan air bersih? Dimana mereka berteduh saat hujan dan dimana mereka tidur pada malam hari? Lalu bagaimana jika mereka tiba-tiba sakit, siapakah yang harus bertanggungjawab? Adakah payung hukum yang melindungi hak-hak konstitusional orang-orang ini?
Terminologi sakit jiwa pernah disebutkan dalam UU No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa. Namun dalam perkembangannya, pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, tidak lagi ditemukan batasan yang jelas mengenai apa itu sakit jiwa, yang ada hanyalah definisi tentang kesehatan. Kesehatan menurut UU No. 36 Tahun 2009, diartikan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial, yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Lalu bagaimana dengan UUD 1945? Apakah konstitusi kita mengatur tentang hak asasi orang sakit jiwa?
Konstitusi kita tidak mengenal dikotomi konsep orang gila dan orang waras. Tidak pernah ada satu kalimat pun dalam konstitusi kita, yang menyebutkan bahwa negara ini hanya melindungi hak konstitusional orang waras, sedangkan hak orang gila lalu tidak dilindungi negara.Â
Jadi, terminologi orang gila disini, tidak diartikan sebagai lawan kata dari orang waras. Orang gila, dalam konstitusi kita dipandang sebagai seseorang yang sedang berada dalam kondisi sakit. Jadi secara konstitusional, orang-orang ini memiliki hak yang sama dengan kita semua. Hal ini sejalan dengan konsep Hak Asasi Manusia, yang berarti hak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, dan diberikan kepada seluruh manusia. Tidak pernah kan kita mendengar ada istilah Hak Asasi Manusia Waras?
Lalu jika orang-orang ini kita anggap sakit, bagaimana seharusnya penanganan negara? Sederhananya, orang sakit ya harus diobati. Karena yang sakit adalah jiwanya, maka orang-orang ini harus ditampung di Rumah Sakit Jiwa. Disinilah masalahnya.Â
Berdasarkan data dari VOA (18/04/2016), Indonesia hanya memiliki 48 Rumah Sakit Jiwa. Dari jumlah tersebut, setengahnya ada di Pulau Jawa. Fakta mengejutkan lain, dari 34 provinsi di Indonesia, 8 provinsi tidak memiliki Rumah Sakit Jiwa. 8 provinsi yang dimaksud adalah Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Gorontalo, NTT, Papua Barat, dan Kalimantan Utara. Sedangkan propinsi yang belum mempunyai tenaga psikiatri adalah Gorontalo, Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Kalimantan Utara.
Fasilitas dan tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat terbatas. Pada tahun 2012, fasilitas kesehatan jiwa hanya ada di 32 rumah sakit jiwa milik pemerintah dan 16 rumah sakit jiwa milik swasta. Dari 1.678 rumah sakit umum yang terdata, hanya sekitar 2 persen yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Total terdapat 15 rumah sakit dari 441 rumah sakit umum daerah milik pemerintah kabupaten/kota, yang memiliki layanan psikiatri. Kondisi yang sama terjadi pada puskesmas. Hanya ada 1.235 puskesmas, yang memberikan layanan kesehatan jiwa, dari sekitar 9.000 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Rendahnya fasilitas kesehatan dalam upaya penyembuhan orang sakit jiwa, diperparah dengan jumlah orang sakit jiwa yang terus bertambah. Berdasarkan data riset Departemen Kesehatan tahun 2014, disebutkan bahwa terdapat 1 juta pasien dengan gangguan jiwa berat, dan 19 juta pasien gangguan jiwa ringan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 385.700 jiwa, atau sebesar 2,03 persen pasien gangguan jiwa terdapat di Jakarta, dan berada di peringkat satu nasional. Dari sekitar 1 juta pengidap sakit jiwa berat, hanya sekitar 3,5 persen atau sekitar 35.000 jiwa yang baru terlayani di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, atau pusat kesehatan masyarakat dengan fasilitas memadai. Sebagian lagi, dimasukan ke yayasan pengobatan penyakit mental, dibawa ke dukun, pondok pesantren khusus orang gila, atau rumah penampungan sosial. Masih berdasarkan data pemerintah, terdapat 18.000 orang sakit jiwa yang dipasung. Umumnya dipasung dengan rantai.
Bagaimana kita bisa menyebut negara kita sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, jika menyediakan satu buah Rumah Sakit Jiwa di tiap provinsi saja kita tidak mampu?
Jadi tidak usah muluk-muluk akan menindak para pemborgol pasien sakit jiwa, menyidik yayasan rehabilitasi pasien sakit jiwa, atau bahkan melindungi hak-hak pasien sakit jiwa (sebagaimana 37 butir ketentuan dalam konstitusi), jika menyediakan fasilitas kesehatannya saja belum.Â
Apa solusi dari dugaan pelanggaran HAM di Galuh Rehabilitation Center?
Orang-orang ini sedang sakit. Mereka tidak butuh kata-kata manis atau pidato kita. Bahkan mungkin mereka juga tidak paham akan semua yang kita katakan.Â
Harus ada kajian terlebih dahulu, mengenai apa akar masalah sebelum pemerintah berusaha menemukan solusi yang tepat bagi mereka. Realitas di lapangan menunjukan bahwa upaya penyembuhan orang sakit jiwa, sangatlah rendah. Jika melihat statistik antara jumlah fasilitas kesehatan dan jumlah pasien sakit jiwa saja, bisa kita simpulkan bahwa ada 96,5 persen pasien sakit jiwa, yang belum mendapat layanan kesehatan. Lebih jauh lagi, 18.000 pasien yang sedang dipasung karena kondisi kejiwaannya, memerlukan perlindungan hukum.
Ada kebutuhan akan penyediaan fasilitas kesehatan jiwa yang humanis. Ada kebutuhan akan pengiriman tenaga medis/psikiatris. Ada kebutuhan akan suplai obat-obatan. Dan ada kebutuhan akan produk hukum untuk melindungi hak-hak konstitusional mereka.Â