Mohon tunggu...
Ena Rohana
Ena Rohana Mohon Tunggu... -

Ena Rohana / Mang Utas

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta Bersemi di Negeri Beton (Bag. 2)

19 Oktober 2011   09:52 Diperbarui: 5 April 2016   17:40 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh: Ena Rohana

2. Masa Remaja

 

Dengan prestasi yang cukup membanggakan kini Rini kecil telah lulus dari Sekolah Dasar, dan dengan sangat terpaksa dia harus dititipkan di kakeknya di Kota Gudeg karena kedua orangtuanya hijrah ke Kota Rembang untuk merubah keadaan yang semakin sulit.

 

 Tangan kecil Rini kini bebannya semakin berat karena harus mengurus kakeknya yang sudah tua dan dua orang pamannya yang masih tinggal serumah dengan kakeknya. Pagi-pagi menyiapkan sarapan dan langsung pergi ke sekolah dan pulang sekolah harus ekstra keras mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang bukan semestinya dia lakukan untuk anak seusia dia. Sungguh tidak ada waktu untuk bermain selayaknya anak-anak tetangga lainnya. Walau terasa berat dia tetap tabah dan tetap dia jalani, kemandirian mulai tumbuh dalam jiwa kecilnya, ya tumbuh dengan keadaan serba terpaksa.

 

 Waktu terus bergulir seperti air sungai yang mengalir tanpa henti, diujung jalan seorang gadis berjalan menyusuri trotoar disebuah kota kecil. Langkahnya terburu-buru seperti mengejar sesuatu. Dia terus berjalan menuju sebuah gerbang sekolah yang bertuliskan SMEA Negeri, sesampainya disana sedikit keringat membasahi dahinya, rupanya perjalanan dari rumah ke sekolah cukup jauh.

 

 “Hey…pagi Rin…piye PR-mu wis kelar?, bantuin aku dong soal nomor sepuluh aku ra mudeng..please bantuin aku ya.” pinta seorang teman cowoknya yang bernama Narko.

“Yo uwis lah Ko..nih.. tapi ojo bilang-bilang ke yang lain yah.”

“Siiip…beres deh ..kamu emang temenku sing paling cantik.”

“Dasar gombal..cepetan keburu masuk kelas.”

“iya..iya…bentar.”

 

Dentang bel masuk sekolah berbunyi, Rini dan yang lainnya masuk kelas bersiap-siap menerima pelajaran. Dikelasnya Rini selalu diminta bantuan oleh teman-temannya, terutama pada pelajaran Seni Lukis. Tidak tahu bakat seninya turun dari siapa, yang jelas setiap goresan tangannya selalu menjadi sesuatu yang terindah dimata teman-teman sekelasnya bahkan gurunya pun mengakui keahlian melukisnya.

 

Diluar kelas matahari mulai membakar dedaunan dan ranting-ranting pohon yang rimbun menutup sebagian bangunan sekolah, seolah-olah ingin melindungi para penghuninya. Kini saatnya Rini pulang ke rumah, kembali menyusuri panasnya trotoar jalanan yang terbakar sengatan matahari . Peluh mulai menetes dari dahinya mengalir melewati lesung pipinya, sebentar-sebentar dia usap dengan tangan halusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun