Rabu siang yang terik di awal Januari 2025, ratusan perwakilan honorer berkumpul di depan Kantor Wali Kota Cilegon. Dengan wajah lesu dan peluh yang mengalir di pipi, mereka membawa kertas besar bertuliskan "Kapan Honor Guru Madrasah Cair? "
Suasana penuh haru itu kontras dengan berita yang baru saja diterima masyarakat: Helldy Agustian, sang Wali Kota, menerima penghargaan "Peduli Hak Asasi Manusia" di Kantor Gubernur Banten.
Ironi ini seperti duri yang menusuk hati mereka, terutama bagi para honorer yang sudah tiga bulan tidak menerima honor, hak mereka yang seakan hilang tanpa jejak.
Teh Sulhiyah, seorang guru honorer madrasah yang telah mengabdi selama belasan tahun, tak mampu menahan kekecewaan saat diwawancarai. "Saya sudah berutang di warung. Untuk makan sehari-hari pun sulit. Tapi mereka malah bangga dapat penghargaan," ucapnya dengan suara bergetar.
Honorer lainnya, Rahamdi yang telah mengajar selama 15 tahun, mengisahkan perjuangannya. "Setiap hari saya harus mengajar dengan senyuman, meskipun hati saya hancur. Anak-anak murid saya tidak tahu bahwa guru mereka tidak dibayar selama berbulan-bulan," ujarnya.
Ia, seperti banyak honorer lainnya, merasa dihianati oleh pemimpin yang seharusnya melindungi mereka.
Kepedihan itu bukan satu-satunya yang merasakan penderitaan itu. Guru honorer, anggota Linmas, kader Posyandu, hingga RT dan RW juga bernasib sama. Ribuan orang yang menggantungkan hidup pada honor dari Pemkot Cilegon kini menghadapi ketidakpastian.
Helldy Agustian yang kerap mengeluhkan masa jabatan 3,5 tahun terlalu singkat untuk merealisasikan janji-janji politiknya, justru berhasil mengoleksi puluhan penghargaan selama periode tersebut.
Namun, penghargaan itu, menurut banyak pihak, lebih sering dianggap sebagai pencitraan atau bahkan "dapat dibeli". Warga mulai mempertanyakan esensi dari penghargaan tersebut ketika kota yang dipimpinnya  justru berada di ambang krisis keuangan.