"Jika terus-terus begini, saya juga jadi bosan," kata istri dengan nada sangat kesal.
Awalnya ia senang ketika semua kegiatan diliburkan dan memiliki waktu luang untuk keluarga di rumah. Seiring menjalani social distancing, realitanya kesibukan istri tidaklah menurun. Sebagai guru kelas, Ia memiliki kewajiban untuk mengontrol belajar daring kepada 26 murid SD.
Memiliki anak murid dari keluarga menengah ke bawah rupanya lebih repot lagi, harus meladeni orangtua yang sulit memahami intruksi belajar anak. Belum lagi banyak orangtua yang tidak memiliki gawai.Â
Mengajar yang tidak efektif semacam itu, ditambah dengan kuliah daring yang harus menghadapi laptop berjam-jam. Jika dosen tidak hadir dalam kuliah daring, biasanya diganti dengan tugas membuat esai. Habislah waktu mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan itu dengan buku-buku kuliahnya.
Lah, saya sebagai suami ngapain saja? Tentu saja saya tetap di rumah seperti instruksi Pak Presiden.
Akibat larangan berkumpul, berdampak pada pekerjaan. Shooting film sudah ditangguhkan produser hingga waktu yang belum pasti. Bisnis sampingan menjadi fotografer di pernikahan pun harus dibatalkan.Â
Akhirnya banting setir, bekerja menjadi penjaga anak 5 tahun. Menjaga anak agar tidak main di luar rumah dan setop minta jajan itu merepotkan. Berasa shoting film horor dua minggu di dalam hutan tidak sebanding dengan lelahnya mengurus anak yang lagi aktifnya bermain.
Saat istri tidak sempat memasak, alternatifnya membeli makanan dari jasa aplikasi. Ketika anak sudah tahu bahwa dari gawai saja bisa untuk belanja, rengekannya kemudian memaksa saya untuk membeli jajanan kesukaannya.
Kadang kesel sama anak tapi tidak bisa marah. Jika sudah merengek maka bisa mengganggu pekerjaan ibunya. Ya, sudah beli saja apa yang dimau, asalkan tidak nangis.
Cara seperti itu terus berulang. Istri semakin kelelahan menghadapi wali murid untuk memberi intruksi belajar pada anak.Â