Dalam hitungan bulan, para siswa/i se-nusantara akan diuji. Sudah siapkah mereka?
Masih segar di ingatan kita ketika Siami (bundanya Alif, siswa SD peserta UN ujian Nasional) tahun lalu, melaporkan contek massal yang terjadi di sekolahnya, kemudian berbuntut kepada pengusiran dirinya (keluarganya) oleh tetanggan-tetangganya karena dianggap membocorkan aib sendiri.
Tak tanggung-tanggung, sampai orang nomor satu di departemen pendidikan turun gunung, berniat menca...
ri tahu kebenaran berita tersebut. Seperti biasa, pemimpin-pemimpin kita memang lihai dalam hal mengklarifikasi. Intinya, pemerintah (penyelanggara) Ujian Nasional, membantah telah terjadi contek massal.
Bukan rahasia lagi kalau pelaksanaan ujian di negeri kita sarat dengan kecurangan. Daya tarik angka besar di ijazah menggoda peserta ujian untuk melakukan tindakan curang, contek misalnya, yang penting nilai tinggi. Padahal angka hanyalah indikator, tepatnya simbol dari sebuah tahapan sebuah tes. Bukan nilai dari sebuah tahapan, dalam hal ini ujian.
Tak mengherankan, sangking keramatnya angka, banyak peserta didik yang entah karena putus urat logisnya pergi ke makam-makam keramat meminta pertolongan, supaya dibantu dalam hal menjawab pertanyaan. Gila. Ada pula yang menyelenggarakan malam doa, semalam suntuk. Disinilah ilmu pengetahuan (terukur) terdistorsi.
Cerita di atas masih seputar problematik ujian di kalangan murid. Belakangan ini, dunia pendidikan disibukkan dengan penyelenggaraan UKG (Uji Kompetensi Guru). Saatnya guru yang diuji, terjadi ketegangan di antara guru. Ada yang pro ada pula yang kontra. Bagi mereka yang pro, tentu saja mereka melihat sisi baik; mengukur kemampuan sebagai titik awal untuk memperbaiki diri. Bagi yang kontra, UKG dianggap sebagai pemborosan anggaran yang katanya menghabiskan 50 M (kompas) ditambah argumen lain, seperti sosialisasi yang mendesak.
Saya pribadi yang juga bagian dari golongan guru, tidak dalam posisi setuju atau tidak. Saya lebih tertarik membahas ada apa dengan ujian yang membikin ketegangan massif. Ujian hanyalah alat ukur, persis seperti termometer. Sekali lagi apappun jenis ujiannya, entah itu UN bagi muri dan UKG bagi guru, hnyalah alat pengukur tingkat kemampuan seseorang.
Yang mungkin perlu kita kiritis & cermati secara objektif adalah apakah model/format ujian yang hanya mengedepankan kemampuan kognitif (otak) sseperti UN adalah alat pengukur satu-satunya tingkat intelektualitas seseorang? Bagaimana dengan kemampuan afektif (sosial) dan kemampuan-kemampuan yang lain? Bukankah tujuan utama pendidikan adalah membebaskan manusia dari ketidaktahuan menjadi manusia yang logis terhadap diri dan alam?
Menutup catatan ini, ijinkan saya mengutip ucapan Robert Lindner, psikoanalis, yang sebenarnya tidak saya setujui pendapatnya sepenuhnya karena terkesan muram tapi pantas untuk kita diskusikan. Ia berkata: Sekolah adalah pabrik yang memproduksi robot. Muda-mudi didaftarkan ke sekolah bukan untuk diberikan alat untuk berpikir, namun untuk disosialisasikan dan dijadikan patuh. Semoga sekolah beserta system yang berlaku di dalamnya tidak sampai kepemahaman yang seperti itu. Salam.
Semoga bermanfaat...
Oleh: Mangimpal Lumban Toruan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H